Kamis, 22 November 2007

TABIR PENGHALANG KETIKA SHOLAT “ Sutrah “

Saudara-saudara muslim yang dirahmati Allah subhaanahu wa ta'ala, kejadian-kejadian alam dewasa ini apabila kita perhatikan tidak lain adalah karena ulah manusia itu sendiri, betapa banyak kemaksiatan-kemaksiatan yang kita saksikan dilingkungan kita tanpa dapat menasehatinya. Demikian juga kejadian di Serambi Makkah baru-baru ini, dari informasi yang ada diperoleh keterangan bahwa sebelum kejadian bencana di dekat makam Syah Kuala diadakan pesta maksiat besar-besaran, ketika mereka diingatkan bukan terima kasih yang mereka ucapkan akan tetapi kesombongan yang mereka lontarkan.
Rasa ketaatan kepada Sang Pencipta Bumi ini kian hari kian musnah di dada manusia. Mulai dari ketaatan yang ringan sampai yang bersifat wajib. Firman-firman Allah subhaanahu wa ta'ala sepertinya sudah tidak dapat menyentuh hati mereka, renungkanlah !
Dalam sebuah hadits Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قال : قَالَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ لاَ تُصَلِّ إِلاَّ إِلىَ سُتْرَةٍ, وَ لاَ تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ فَإِنْ أَبىَ فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِيْنَ
“Janganlah Kamu shalat kecuali di hadapan tabir. Dan janganlah Kamu biarkan ada seorangpun lewat di hadapanmu. Jika dia enggan (untuk dicegah), maka perangilah dia. Karena sesungguhnya orang itu disertai teman (setan).” (Diriwayatkan oleh Muslim, Ibn Khuzaimah, Al Hakim, dan Al Baihaqi dari Ibn Umar radliyallahu 'anhu)
Dari Abu Sa’id al Khudzri radliyallahu 'anhu, dia berkata,”Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam bersabda,”Jika salah seorang dari Kalian mengerjakan shalat, maka hendaklah dia menghadap tabir penghalang dan hendaklah dia mendekati tabir tersebut. Janganlah membiarkan seorangpun lewat di antara dirinya dan tabir. Jika ada seorang yang lewat, maka hendaklah dia memeranginya. Karena sesungguhnya dia itu adalah setan.” (Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah, Abu Dawud, Ibn Majah, Ibn Hiban, dan Al Baihaqi, Hasan)
Di dalam sebuah riwayat disebutkan: ”Karena sesungguhnya setan lewat di antara dia dan tabir penghalang.”
Dari Sahl ibn Abi Hatsamah radliyallahu 'anhu, dari Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam, bersabda,”Apabila salah seorang dari Kalian shalat di hadapan tabir penghalang, maka hendaklah dia mendekatinya. Maka setan tidak akan memotong sholatnya.” (Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah, Ahmad, Ath Thayalisi, An Nasa’I, Al Humaidi, Ibn Khuzaimah, Ibn Hibban, Ath Thahawi, Al Hakim, dan Al Baihaqi, Shahih)
Di dalam riwayat lain disebutkan: “ Apabila salah seorang dari Kalian mengerjakan sholat, hendaklah dia menutupi (arah depannya) dengan tabir penghalang. Selain itu hendaklah dia mendekati tabir tersebut. Karena setan akan lewat di hadapannya.” (sesuai yang diriwaytkan Ibn Khuzaimah)
Asy Syaukani mengomentari hadits riwayat Abu Sa’id yang telah lalu sebagai berikut :”Di dalam hadits itu terkandung pengertian bahwa memasang tabir penghalang hukumnya wajib.” (Nail Al Awthaar III/2)
Dia juga berkata,”Kebanyakan hadits yang menerangkan perintah untuk memasang tabir penghalang ketika sholat menunjukkan perintah wajib. Jika memang ada sesuatu yang bisa mengalihkan perintah wajib itu menjadi perintah sunnah, tidak mengapa. Dan hal itu akan dipertimbangkan lebih lanjut. Akan tetapi tidak pantas nampaknya mengalihkan pengertian wajib sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam, yang berbunyi, “Karena sesungguhnya mendekati tabir penghalang itu tidak menyebabkan dia diganggu oleh orang yang lewat di hadapannya.” Akan tetapi kelihatannya menjauhi sesuatu yang bisa mengganggu sholat dan bisa menghilangkan pahalanya (meletakkan tabit) adalah wajib dilakukan.” (al Sail al Jiraar I/176)
Dari Qarrah ibn Iyas, dia berkata,”Umar melihat aku sedang sholat di antara dua tiang. Dia langsung memegang leherku dan mendekatkan aku ke tabir penghalang sambil berkata,”Sholatlah di hadapan tabir !” (Diriwayatkan oleh Bukhari, dan Ibn Abi Syaibah)
Al Hafidz Ibn Hajar berkata,”Umar melakukan hal itu dengan maksud agar sholat Qarrah ibn Iyas berada di depan tabir penghalang.” (Fath al Baari I/577)
Ibn Mas’ud radliyallahu 'anhu berkata,”Ada empat hal yang bisa menyebabkan watak manusia menjadi kasar: seseorang yang sholat tanpa meletakkan tabir penghalang di hadapannya..atau dia mendengarkan adzan namun tidak menjawabnya.” (Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah, dan Al Baihaqi, Shahih)
Setelah menyebutkan beberapa hadits yang menyebutkan Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam sholat tidak di hadapan tabir penghalang Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan bin Mahmud bin Salman berkata,”Sekalipun aman dari orang yang akan lewat di hadapannya ketika sholat, atau sedang berada di tanah lapang, tetap dianggap salah apabila dia tidak meletakkan tabir penghalang di hadapannya. Tidak ada bedanya apakah ketika berada di kota Mekah atau di tempat lainnya. Hukum peletakkan tabir penghalang ini bersifat mutlak. (lihat kembali pendapat yang diutarakan oleh beberapa orang bahwa ketika berada di kota Mekah tidka mengapa tanpa meletakkan tabir penghalang. Disebutkan pula tentang pembolehan lewat di hadapan orang ynag sedang sholat dan sanggahan terhadapnya dalam kitab Silsilah al Ahaadiits al Dla’ifah wa al Maudhu’ah nomor 928 dan di dalam Ahkaam al Satrah fii Makkah wa Ghairihaa halaman 46-48 dan 120-126. Diperbolehkannya lewat di hadapan orang yang sholat ketika dalam kondisi darurat merupakan hal yang tidak bisa dielakkan lagi. Lebih-lebih ketika dalam kondisi yang penuh sesak. Hal ini dibahas oleh al Hafidz Ibn Hajar di dalam al Fath (I/576) dan al Zarqaani di dalam Syarah ‘alaa Mukhtashar al Khalil (I/209) wa Allahu ta’aala a’lam.
Kemudian berapakah ukuran dari tabir penghalang ? Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan bin Mahmud bin Salman berkata,”Bahwa ukuran yang diperlukan untuk meletakkan tabir penghalang ketika sholat adalah yang bisa menghalangi dari bahaya sesuatu yang lewat di hadapannya. Ukuran itu kira-kira setinggi mu’khirah al rahl (tongkat bagian belakang pelana kuda yang ukurannya sekitar dua pertiga dzira’, yakni antara siku-siku tangan dan ujung jari tengah atau sekitar 46,2 cm). Bagi orang yang tidak kesulitan meletakkan tabir seukuran itu, tidak boleh meletakkan tabir yang lebih rendah darinya.”
Berdasarkan riwayat dari Thalhah, dia berkata,”Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam bersabda,”Jika salah seorang dari Kalian meletakkan (tabir penghalang) di hadapannya seukuran mu’khirah al rahl, maka hendaklah dia melakukan sholat. Dan tidak perlu menghiraukan lagi orang yang di balik tabir penghalang tersebut.” (Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya). Dan dari A’isyah, dia berkata,”Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam ditanya tentang meletakkan tabir penghalang untuk orang sholat ketika perang Tabuk. Beliau menjawab,”Seukuran mu’khirah al rahl.” (Diriwayatkan oleh Muslim juga).
Bolehkan menjadikan ujung sajadah atau garis shoft sebagai tabir penghalang ? Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan bin Mahmud bin Salman berkata,”Tidak boleh menjadikan tabir penghalang dengan hanya menuliskan garis di hadapannya, sedangkan dia masih bisa menjdaikan benda lain sebagai tabir penghalang. Tidak mengapa sekalipun benda itu berupa tongkat, kayu, harta, atau bahkan dengan cara menumpuk batu seperti yang telah dilakukan oleh Salamah ibn al Akwa rahimahullah.
Beliau melanjutkan,”Yang perlu disebutkan di sini adalah bahwa hadits-hadits yang menerangkan penulisan garis di muka orang yang sholat bisa dijadikan sebagai tabir penghalang adalah dhaif. Yang menyerukan kedhaifan hadits ini sebenarnya Sufyan ibn ‘Uyainah, Asy Syafi’I, Al Baghawi dan ulama-ulama lain, seperti ;
Ad Daruqathni berkata,”hadits itu tidak shahih dan tidak benar.”
Asy Syafi’I berkata di dalam kitab Sunan Harmalah,”Orang yang mengerjakan sholat tidak (boleh) menulis garis di hadapannya (sebagai tabir), terkecuali jika pendapatnya itu didasarkan pada riwayat hadits yang benar, baru boleh diikuti.”
Imam Malik rahimahullah berkata di dalam al Mudawwanah,” (Menjadikan) garis (sebagai tabir pengahalang) adalah batal.”
Juga oleh para ulama yang hidup di generasi agak akhir seperti Ibn al Shalah, An Nawawi, Al ‘Iraqi, dan masih banyak lagi lainnya.” (Lihat Tamaam al Minnah hal. 300-302, Ahkaam al Satrah hal. 98-102, Syarh An Nawawi ‘alaa Shahih Muslim (IV/216), dan Tahdziib al Tahdziib (XII/199) biografi Abu ‘Amr ibn Muhammad ibn Haris.

(Diringkas dari Al Qawl Al Mubiin fii Akhthaa’ AlMushalliin oleh Abu Ubaidah Masyhur ibn Hasan. Oleh Abu Muslim)

Selasa, 06 November 2007

Assalamu'alaikum

Trimakasih atas kunjungan anda di Blog saya, Matur nuwun dan jazakumulloh khoiron katsiro