Jumat, 29 Juni 2012

Mengembalikan File Yang Terhidden Di Flash Disk

Mengembalikan file yang terhidden di flash disk ternyata bisa. Kemarin flash disk aku terkena virus bulu bebek setelah itu sebagian data file ku di flash disk hilang. Waktu aku scan pakai anti virus kaspersky 7, aku lihat di kotak searchnya muncul nama-nama file yang ku anggap sudah hilang tadi. Ternyata file ku terhidden yah. Jahat banget tuh yang bikin virus. Kurang kerjaan aja.
Sengaja aku memposting artikel "mengembalikan file yang terhidden di flash disk" ini hanya untuk berbagi pengalaman aja kepada teman-teman semua. Hidup kan harus saling berbagi. Langsung saja kita ke TKP.
Cara untuk mengembalikan file yang terhidden :

  • Yang pertama anda lakukan adalah dengan mendisable dulu anti virus yang aktif di komputer anda
  • Kedua, silahkan klik menu Start pada toolbar anda >> RUN >> Ketik cmd (command promt) >> Ok
  • Setelah masuk di kotak dialog menu Command Promt yang latar belakangnya hitam itu, Silahkan ketik attrib(spasi)-s(spasi)-h(spasi)f:*.*(spasi)/s(spasi)/d
  • Lebih jelasnya attrib -s -h f:*.* /s /d
Keterangan :
  • Attrib = attribute atau sifat dari suatu file
  • –s = berfungsi supaya file kembali dikenal oleh windows
  • -h = berfungsi menampilkan kembali file yg tersembunyi/disembunyikan
  • f = Silahkan ganti dengan lokasi flash disk yang ada di disk
  • /s dan /d artinya perintah attrib akan dikenakan pada semua file dan folder yang berada di dalam folder
Insya Allah berhasil, aku sudah buktikan sendiri. Oh iya, cara di atas juga bisa dilakukan buat file yang ada di hard disk yang lain loh seperti di C, D, atau yang lainnya.

sumber : http://pancallok.blogspot.com/2009/03/mengembalikan-file-yang-terhidden-di.html

Cara Upgrade Samsung Galaxy Young

Hai,, kali ini saya akan berbagi tentang bagaimana Cara Upgrade Samsung Galaxy Young. Sebenarnya Cara Upgrade Samsung Galaxy Young sudah ada dan banyak di forum, tapi disini saya akan menejelaskan lagi step by step Cara Upgrade Samsung Galaxy Young. Android Galaxy Young mempunyai OS bawaan Android OS, v2.3.3 Gingerbread with TouchWiz UI. Nah disini saya akan memberikan tutorial mengupgrade dari Android OS, v2.3.3 Gingerbread with TouchWiz UI ke versi 2.3.6.

Cara Upgrade Samsung Galaxy Young 2.3.6

Pertama kali yang harus anda siapkan :

  1. HP Android Galaxy Young
  2. Kabel data
  3. Laptop atau komputer hehehe Udah di instal KIES ya kalo belum Masuk sini dulu download KIES
  4. Firmware 2.3.6 ================> download disini
  5. Odin3 v1.85.exe Downloader =======> download disini

Nah langkah persiapan sudah selesai oke kita menuju langkah selanjutnya

  1. Extrak file Odin 3 dan Firmwarenya
  2. Kemudian jalankan Odinnya
  3. Setelah Odin terbuka masukan file PIT Odin (Udah ada dalam satu paket ama Odin totoro_0623.pit)
  4. Untuk bagian Files Download, kita masukan file firmware yang telah kita extrak tadi.* Pada BOOTLOADER isikan ====> BOOT_S5360DXKJ1_REV05.tar
    * Pada PDA isikan ==========> PDA_S5360DXKJ3_REV05.tar
    * Pada PHONE isikan ========> MODEM_S5360DXKJ1_REV05.tar
    * Pada CSC isikan ==========> GT-S5360-MULTI-CSC-OLBKJ2.tar

Untuk komputer kita sudah siap, sekarang kita siapkan Android Galaxy Young agan.

  1. Matikan HP dulu 
  2. Kalo sudah mati Cabut SIM Card biar gag ada yang menghubungi (padahal mau di hidupin download mode ga bakaln ada yang bisa menghubungi wkwkwk)
  3. Cabut SD Card biar data ga ilang (sebenarnya ga di cabut gak masalah tp cari aman saja)
  4. Hidupkan Mode Downloading
  5. Caranya tekan tombol volume down + home + power (pastikan sudah pada posisi mode download)
  6. Selanjutnya kita sambungkan HP dengan komputer
  7. Pastikan Odin sudah medeteksi Hp Kita
  8. Sebelum pijit tombol Start pada Odin , pastikan Re-Partition, Auto Reboot, F.Reset Time dicentang.
  9. Pencet tombol Start tunggu sampai restart HPnya.

Proses selanjutnya adalah menunggu sampai proses selesai, jangan cabut kabelnya ato akan beresiko.hehee

Jangan lupa Hard Reset kalo udah selesai ===> *2767*3855# . Mau tau secret code samsung lainya bisa di lihat di SAMSUNG SECRET CODE. Atau mau tau CARA ROOT GALAXY YOUNG 

sumber : http://toni-07.web.ugm.ac.id/android-galaxy-young-y/cara-upgrade-samsung-galaxy-young/

Kamis, 21 Juni 2012

Cara Resetter Canon MP150, MP160, MP170, MP180, MP450, MP460

 

Printer MP150, MP160, MP170, MP180, MP450, MP460, adalah pruduksi canon yg dibuat multifungsi yaitu Print Scan Copy. Printer ini juga sama dengan printer canon lainnya yaitu butuh reset ketika counternya sudah maksimal.
Printer Canon MP150, MP160, MP170, MP180, MP450, MP460 yang perlu direset akan muncul tanda-tanda berikut :
" LED 7 segmen akan tampil Error Code E8 atau E27. "
Cara Resetter MP150, MP160, MP170, MP180, MP450, MP460
Sebelumnya saya akan jelaskan 3 mode kerja printer Canon ..... :
1. Mode normal : mode yang biasa bekerja saat printer bekerja normal.
2. Service mode : bekerja saat service mode untuk reset Canon seri IPxxxx .
3. Factory mode : mode ini bekerja pada bagian eeprom (inilah yg dibutuhkan untuk  resetter Canon MP ).
Cara Resetter Canon MP150, MP160, MP170, MP180, MP450, MP460 :
1. Printer harus dalam keadaan FACTORY MODE, caranya :
a. Matikan printer (cabut kabel power)
b. Tekan dan tahan tombol power printer
c. Sambungkan kabel power printer
d. Tekan dan lepas tombol STOP/RESET
e. Lepaskan tombol power (jika terjadi pendeteksian hardware baru, instal driver printer, nanti akan terdeteksi sebagai ‘Canon MP XXX Low-Level Mode”)
" Lampu yg menyala hanya led alarm saja "
2. Pasang kabel USB printer Canon MP150, MP160, MP170, MP180, MP450, MP460 tersebut.
3. Install driver Printer Canon MP150, MP160, MP170, MP180, MP450, MP460 tersebut. Kalau belum punya download di sini.

4. Download resetter Canon MPTOOL di link

4. Exctract dan Jalankan MPtool.exe, kemudian ikuti gambar di bawah ini

5. Selesai, matikan printer dengan mencabut kabel powernya, kemudian siap di coba.
Selamat mencoba.........

sumber : http://ekohasan.blogspot.com/2010/04/cara-resetter-canon-mp145-mp150-mp160.html

Rabu, 20 Juni 2012

Benarkah Isra’ Mi’raj pada 27 Rajab?

Sebagian besar kaum muslimin, terkhusus di negeri ini meyakini bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj jatuh pada malam 27 Rajab. Biasanya mereka isi malam itu dengan qiyamullail kemudian puasa pada siang harinya. Berbagai perayaan pun diadakan untuk memperingati peristiwa yang menjadi salah satu mu’jizat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut. Benarkah Isra’ dan Mi’raj ini terjadi pada malam 27 Rajab?

Para ulama sejak dahulu sudah membahas dan menerangkan permasalahan ini dalam kitab-kitab mereka. Dan kesimpulan dari keterangan mereka adalah:

Bahwa tidak ada satupun dalil yang shahih dan sharih (jelas) yang menunjukkan kapan waktu terjadinya Isra’ dan Mi’raj. Para sejarawan sendiri berbeda pendapat dalam menentukan kapan waktu terjadinya peristiwa itu.

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullah menyatakan ada lebih dari sepuluh pendapat yang berbeda dalam menentukan kapan waktu terjadinya Isra’ dan Mi’raj, di antaranya ada yang menyebutkan pada bulan Ramadhan, ada yang menyebutkan pada bulan Syawwal, bulan Rajab, Rabi’ul Awwal, Rab’iul Akhir, dan berbagai pendapat yang lain.

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan: “Diriwayatkan dengan sanad yang tidak shahih dari Al-Qasim bin Muhammad bahwa Isra’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terjadi pada 27 Rajab. Riwayat ini diingkari oleh Ibrahim Al-Harbi dan para ulama yang lain.”

Al-’Allamah Abu Syamah rahimahullah dalam kitabnya, Al-Ba’its ‘ala Inkaril Bida’ wal Hawadits menyebutkan bahwa terjadinya Isra’ bukan pada bulan Rajab. Kemudian beliau juga mengatakan: “Sebagian tukang kisah menyebutkan bahwa Isra’ dan Mi’raj terjadi pada bulan Rajab, perkataan seperti ini menurut ulama ahlul jarh wat ta’dil adalah sebuah kedustaan yang nyata.”

Semakna dengan yang dikatakan oleh Abu Syamah di atas adalah keterangan Ibnu Dihyah, sebagaimana yang dinukilkan oleh Ibnu Hajar rahimahumullahu jami’an.

Sekarang, mari kita menengok bagaimana penjelasan Al-Hafizh An-Nawawi rahimahullah -seorang ulama besar madzhab Syafi’i dan sering dijadikan rujukan oleh kaum muslimin termasuk di Indonesia- terkait permasalahan ini. Dalam kitabnya, Syarh Shahih Muslim, beliau berkata:

“Peristiwa Isra’ ini, sebagian kecil berpendapat itu terjadi 15 bulan setelah diutusnya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Al-Harbi mengatakan bahwa itu terjadi pada malam 27 bulan Rabi’ul Akhir, satu tahun sebelum hijrah. Az-Zuhri mengatakan bahwa itu terjadi 5 tahun setelah diutusnya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibnu Ishaq mengatakan bahwa Nabi mengalami peristiwa Isra’ ketika agama Islam sudah tersebar di kota Makkah dan beberapa qabilah.”

Beliau tidak memastikan bahwa Isra’ dan Mi’raj terjadi pada malam 27 Rajab, beliau hanya sebatas menukilkan pendapat sebagian ulama sebagaimana telah disebutkan.

Sebagian ulama memperkirakan bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini terjadi tiga atau lima tahun sebelum hijrah. Karena setelah mendapatkan wahyu perintah untuk mendirikan shalat lima waktu pada peristiwa tersebut, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam masih sempat menunaikannya beberapa waktu bersama Khadijah radhiyallahu ‘anha, istri beliau. Dan tidak diperselisihkan bahwa Khadijah radhiyallahu ‘anha meninggal tiga atau lima tahun sebelum hijrah. Wallahu a’lam.

Berdasarkan keterangan para ulama di atas, maka kita tidak boleh menetapkan, memastikan, ataupun meyakini bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi pada malam 27 Rajab. Hanya Allah subhanahu wata’ala sajalah yang mengetahui kapan peristiwa tersebut terjadi, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai hamba-Nya yang menjalaninya. Sementara kita tidak mendapatkan satupun ayat al-Qur’an maupun hadits yang memberitakan kapan peristiwa tersebut terjadi.

Wallahu a’lam bish shawab.

sumber : http://www.salafy.or.id/2012/06/18/benarkah-isra-miraj-pada-27-rajab/

Selasa, 19 Juni 2012

MEMBANDINGKAN METODE MUTAQADDIMIN DAN MUTAAKHIRIN DALAM KRITIK HADITS

Kesadaran umat Islam terhadap pentingnya merujuk kepada hadits Nabi Saw dalam merumuskan solusi yang tepat untuk setiap problematika yang dihadapi merupakan fenomena kontemporer yang patut disyukuri. Namun kesadaran ini setiap saat dapat berubah menjadi euphoria destruktif jika tidak diiringi konsepsi yang benar berkenaan dengan metode penilaian riwayat dan mekanisme penyimpulan hukum dari sebuah hadits. Sayangnya, kajian-kajian hadits mutaakhirin dan kontemporer mengarah kepada terwujudnya kekhawatiran tersebut dilihat dari berbagai indikasi yang menunjukkan terjadinya pendangkalan ilmu hadits, bahkan pembalikan paradigma dari yang pernah diajukan oleh ahli hadits klasik (mutaqaddimin).
Tulisan ini berusaha menampilkan sebagian dari fenomena tersebut sebagai pendahuluan untuk diskusi kita dalam mengkaji metode Imam Al-Tirmidzi di dalam kitab Sunan-nya. Apa yang saya tulis di bawah ini tidak bertendensi untuk mengecilkan peranan ulama atau tokoh tertentu. Problematika serius yang sedang dihadapi umat jauh lebih penting untuk dicari solusinya daripada membuang sia-sia energi kita untuk mendengki dan mencaci saudara sendiri.
Pendahuluan: Mutaqaddimin dan Mutaakhirin
Sejarah panjang ilmu kritik hadits sejak lahirnya hingga sekarang bisa dibagi menjadi dua fase (marhalah) besar.[1] Fase pertama disebut dengan masa riwayah. Setiap hadits pada masa ini diriwayatkan dengan sanad tersendiri yang menghubungkan penuturnya dengan pemilik perkataan tersebut (Nabi Saw, sahabat, atau tabiin) dengan untaian nama-nama perawi yang disebut sanad. Di masa yang berakhir kira-kira abad keempat/kelima hijriah ini, sanad merupakan tulang punggung yang menentukan validitas sebuah riwayat sehingga menjadi bagian penting dari agama.[2] Buku-buku yang ditulis di masa inipun sarat dengan sanad-sanad yang menghubungkan para pengarang buku dengan sumber referensinya. Hal ini kita bisa temukan misalnya pada Muwattha Imam Malik (w. 179), buku-buku Imam Asy-Syafii (w. 204 H) dan Imam Ahmad (w. 224 H), Al-Bukhari (w. 256 H), Muslim (w. 261 H), dan buku-buku lain yang ditulis hingga masa Al-Daruquthni (w. 385 H).
Urgensi sanad pada masa ini melahirkan perhatian dan upaya luar biasa yang dicurahkan ulama hadits untuk mengoleksi dan memverifikasi setiap riwayat dengan seksama demi memastikan tertutupnya semua celah yang memungkinkan penyusupan unsur asing yang dapat mengeruhkan kejernihan ajaran Islam. Upaya ini membuahkan keyakinan ilmiah di hati setiap muslim, pada saat itu hingga saat ini, bahwa Islam dengan semua aspek akidah, syariah dan etikanya tetap terjaga kemurniannya meski telah melalui ribuan tahun sejak wafat Rasulullah Saw. Ibn Hibban (w. 354 H) dengan sangat indah menjelaskan upaya luar biasa ahli hadits ini dengan berkata, “…Andai salah seorang dari ulama itu ditanya berapa jumlah huruf dalam setiap hadits niscaya dia mampu menghitungnya. Dan andai seorang perawi menambahkan alif atau wau ke dalam sebuah hadits, mereka akan menyingkapnya dengan mudah dan menjelaskannya dengan ikhlas. Tanpa mereka, atsar pasti punah dan hadits pasti hilang, dan niscaya ajaran sesat akan menyebar dan ahli bid'ah akan meraja lela.”[3] Al-Baihaqi (w. 458 H) menambahkan bahwa upaya pengumpulan hadits di masa riwayah ini telah sempurna, “maka barangsiapa pada hari ini meriwayatkan hadits yang tidak terdapat di (dalam buku-buku karangan) mereka maka hadits itu tidak dapat diterima.”[4]
Fase kedua dinamakan dengan masa pasca riwayah. Pada fase yang terbentang sejak berakhirnya fase riwayah hingga sekarang ini, hadits-hadits telah terkumpul di dalam kitab-kitab sunnah yang sangat masyhur hasil upaya keras para ulama di fase sebelumnya. Oleh karena itu, perhatian ahli hadits pada saat ini beralih dari koleksi riwayat kepada upaya memelihara warisan ilmiah itu dengan teliti agar tidak terjadi kekeliruan membaca (tashhif dan tahrif) yang dapat mereduksi makna. Sanad tidak lagi urgen, minimal tidak sepenting pada masa riwayah, dan disampaikan hanya sekedar untuk melestarikan keistimewaan umat islam yang tidak dimiliki oleh umat lain itu.[5] Pada fase ini juga, bermunculan buku-buku khusus yang menjelaskan secara seksama teori seleksi riwayat dan menafsirkan makna istilah-istilah teknis yang digunakan oleh ahli hadits dalam praktek ilmiah mereka. Buku 'Ulum Al-Hadits (dikenal juga dengan nama Muqaddimah) karya Ibn Al-Shalah (w. 643 H) tampil menjadi rujukan terpenting sebelum kemudian karya Ibn Hajar (w. 852 H), Nukhbat Al-Fikar dan Syarh-nya, merebut posisi bergengsi itu beberapa abad kemudian.
Peralihan dari fase riwayah kepada fase pasca riwayah membawa implikasi yang tidak sedikit, jelas sekali bahwa peralihan tersebut lebih tepat disebut sebagai sebuah perpindahan dari masa keemasan ilmu hadits kepada masa kemundurannya. Memang tidak semua ulama mutaakhirin (pasca riwayah) berjalan bersama arus ini, sebagian mereka, seperti Ibn Abd Al-Hadi (w. 744 H) dan Ibn Rajab (w. 795 H), sangat dekat analisanya dengan metode mutaqaddimin (ulama masa riwayah). Namun fenomena umum masa pasca riwayah ini mengindikasikan terjadinya distorsi di dalam ilmu hadits terlihat dari kajian-kajian hadits yang terkonsentrasi kepada perdebatan yang sangat teoritis dan terlepas sama sekali dari tataran praktisnya. Belum lagi fenomena pembalikan paradigma yang sangat berpengaruh dalam pendangkalan ilmu hadits sebagaimana yang akan dipaparkan di bawah ini.
a. Dari riwayah ke dirayah
Setiap santri hadits pada fase riwayah memulai studinya dengan mendatangi majlis seorang syeikh di kotanya, lalu mendengar dan mencatat hadits-hadits yang diriwayatkan sambil menghafal dan mengenali perawi-perawi yang namanya tercantum di dalam sanad. Semakin banyak jumlah hadits yang ia kumpulkan semakin besar peluangnya untuk mengkaji hadits dengan lebih baik, oleh karena itu al-rihlah fi thalab al-'ilm (belajar ke luar negeri) sangat dianjurkan bahkan sebuah keharusan. Al-Khalil bin Ahmad (w. 160 H) berkata, “Seseorang tidak mengetahui kekeliruan gurunya sebelum ia belajar dari orang lain.”[6] Ali bin Al-Madini (w. 234 H) berkata, “Sebuah hadits jika tidak dikumpulkan semua jalur periwayatannya tidak akan diketahui illah-nya.”[7] Praktek riwayah ini akan membuat pelajar hadits itu mengerti dengan sendirinya sifat-sifat hadits yang harus diterima atau ditolak serta memahami istilah-istilah ilmiah yang digunakan ahli hadits. Singkat kata, pada fase ini praktek riwayah membawa kepada pemahaman dirayah.
Karena berangkat dari praktek ke teori, sifat ilmu hadits pada fase riwayah sangat induktif, aplikatif dan tidak bertendensi mendefinisikan istilah. Bahkan apa yang kemudian dianggap istilah oleh ulama mutaakhirin (seperti hasan, munkar, ma'ruf, mahfuz, 'aziz, gharib, syaz, ma'lul dan lain-lain) serta didefinisikan dengan batasan-batasan tertentu, pada fase ini “istilah-istilah ilmiah” tersebut lebih dekat untuk dimaknai secara bahasa. Oleh karena itu, jika kita perhatikan dengan seksama hampir tidak ada perbedaan makna di kalangan ulama fase riwayah, atau mutaqaddimin, antara mursal dan munqathi', sebab kedua kata ini sama-sama menunjukkan “keterputusan” (makna bahasa bagi mursal dan munqathi') yang terdapat di dalam sebuah sanad.[8]
Perhatikan juga penggunaan “istilah” munkar oleh dua orang pakar hadits kenamaan di masa riwayah, Abu Zur'ah (w. 264 H) dan Abu Hatim (w. 277 H), yang lebih dekat kepada makna harfiahnya, yaitu “sesuatu yang tidak dikenal sehingga melahirkan pengingkaran” daripada harus dibatasi dengan definisi tertentu.[9] Dengan kata lain, kata munkar di praktek ahli hadits mutaqaddimin menunjukkan keganjilan dan kekeliruan yang terdapat di dalam suatu riwayat.[10]
Seperti kata gharib dan hasan, makna munkar ini akan lebih jelas kita pahami setelah mengetahui karakter penulisan dan koleksi hadits fase riwayah yang sangat mirip dengan metode pengarsipan modern. Semua hadits-hadits yang diriwayatkan oleh 'Ubaidullah bin 'Umar dari Nafi' misalnya mereka jadikan file tersendiri yang terpisah dari hadits-hadits riwayat 'Abdullah bin 'Umar dari Nafi'. 'Ubaidullah (عبيد الله) tsiqah sementara Abdullah (عبد الله) dhaif, dan perbedaan keduanya di dalam penulisan hanya huruf ya. Jika seseorang keliru hafalan atau bacaannya sehingga menyebutkan sebuah hadits yang seharusnya diriwayatkan oleh Abdullah bin 'Umar, menjadi riwayat 'Ubaidullah bin Umar, sehingga hadits yang sebenarnya dhaif menjadi shahih, seorang pakar hadits yang teliti akan mempertanyakan riwayat tersebut dengan mengatakan, “Hadits ini ganjil (gharib).” Sebagaimana mereka meng-gharib-kan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh hanya satu orang dari 'Ubaidullah dari Nafi' tanpa ada orang lain yang mendukung riwayatnya.
Keganjilan itu berubah menjadi pengingkaran jika ditemukan indikasi (qarinah) yang menunjukkan telah terjadi kekeliruan dalam membaca nama (tashhif) misalnya. Kata-kata pengingkaran itu bahkan berubah menjadi lebih keras seperti keliru (khatha') atau salah (wahm).[11] Namun jika tidak ada indikasi yang menunjukkan kekeliruan, ditambah lagi orang yang meriwayatkan sanad itu jarang melakukan kesalahan, pelan-pelan pengganjilan itu berubah menjadi penerimaan, bahkan riwayat ini dianggap bagus (hasan) karena keunikannya. Hal ini mirip dengan seorang kolektor barang seni yang menemukan sebuah karya seni bernilai tinggi yang belum pernah ia temukan sebelumnya. Jika setelah diteliti ternyata karya itu palsu, ia akan meng-ingkari-nya. Namun jika ternyata original, ia akan membanggakannya. Antara keganjilan dengan keunikan memang sangat dekat secara bahasa, dan perbedaan antara keduanya pun sangat tipis.
Perhatikan ucapan Abu Hatim mengomentari hadits riwayat Qatadah dan Hammad bin Salamah dari 'Ikrimah bin Khalid dari Ibn 'Umar bahwa Nabi Saw bersabda, “Barangsiapa membeli pohon kurma yang telah diserbuki, maka buahnya milik penjual”, ia berkata, “Semula saya menganggap bagus (astahsinu) hadits ini dari jalur ini hingga saya menemukan beberapa orang terpercaya meriwayatkannya dari 'Ikrimah bin Khalid dari Az-Zuhri dari Ibn 'Umar dari Nabi Saw. Ternyata hadits itu kembali lagi ke jalur Az-Zuhri dari Salim dari Ibn 'Umar.”[12]
Semula Abu Hatim meng-hasan-kan hadits 'Ikrimah bin Khalid dari Ibn 'Umar ini karena keunikannya. Matan hadits ini masyhur diriwayatkan oleh Az-Zuhri dari Salim dari Ibn 'Umar, oleh karena itu ketika menemukan hadits ini diriwayatkan oleh Ikrimah bin Khalid dari Ibn 'Umar dengan perawi-perawi terpercaya, Abu Hatim sangat bergembira karena menemukan sesuatu yang baru dengan sanad yang shahih. Tapi kegembiraan itu berubah menjadi kekecewaan segera setelah mengetahui bahwa ternyata 'Ikrimahpun meriwayatkannya dari Az-Zuhri. Abu Hatim berkata, “Ternyata hadits itu kembali lagi ke jalur Az-Zuhri dari Salim dari Ibn 'Umar.” Sebab sanad ini lumrah dan dimiliki semua orang, maka tidak ada lagi yang harus di-hasan-kan.[13]
Karena tipisnya pemisah antara hasan dan munkar, ahli hadits kadang menyebut hadits-hadits munkar dengan kata hasan. Ibrahim An-Nakha'i (w. 195 H) berkata, “Mereka (ulama sebelumnya) tidak suka, jika mereka bertemu, seseorang dari mereka menyebutkan hadits ter-hasan yang ia miliki.” Al-Khathib (w. 463 H) mengomentari ucapan ini, “Ibrahim bermaksud dengan hasan di sini adalah gharib, sebab gharib yang tidak dikenal lebih dianggap hasan daripada masyhur yang dikenal. Ahli hadits sering menggunakan ungkapan ini untuk hadits-hadits munkar. Oleh karena itu Syu'bah berkata (ketika ditanya: mengapa kamu enggan menulis hadits dari Abdul Malik bin Abi Sulaiman, padahal hadits-haditsnya hasan?), “Dari (hadits) hasan-ya itulah saya menghindar.”[14] Syu'bah juga berkata, “Ismail bin Raja seperti setan karena hadits-hadits hasan-nya.”[15]
Dengan penafsiran makna seperti di atas, silahkan mencerna ucapan Sulaiman Al-A'masy (w. 148 H), “Mereka (para ulama sebelumnya) membenci hadits dan ucapan yang gharib.” Dan ucapan Imam Malik (w. 179 H), “Ilmu terburuk adalah (ilmu) yang gharib, sedangkan ilmu yang terbaik adalah ilmu yang sangat jelas (karena) diriwayatkan banyak orang.” Abu Yusuf (w. 193 H) berkata, “Barangsiapa yang mencari hadits gharib, ia akan jatuh dalam kedustaan.” Imam Ahmad (w. 244 H) berkata, “Janganlah kamu menulis hadits-hadits yang gharib ini, sebab (hadits-hadits itu) munkar, dan kebanyakannya diriwayatkan oleh orang-orang lemah (dhu'afa).” Lalu bandingkan jika Anda memahami “istilah-istilah” tersebut dengan cara mutaakhirin.[16]
Sementara itu, di masa pasca riwayah seorang santri hadits diwajibkan menghafal kaidah-kaidah dan istilah-istilah ushul hadits terlebih dahulu sebelum terjun ke praktek mengumpulkan sanad. Setiap istilah teknis dihafalkan definisinya beserta contoh-contoh secukupnya sehingga terbentuk konsep final untuk setiap istilah tertentu yang sangat ketat dan tidak bisa diganggu gugat. Bahasan ilmu hadits pada fase ini bersifat deduktif, bertumpu kepada logika, berbaur dengan kaidah-kaidah fiqih dan terlalu teoritis sehingga kadang kehilangan landasan praktisnya. Perhatikan konsep 'Aziz Ibn Hajar (w. 852 H) di matan An-Nukhbah yang mengilustrasikan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang perawi di setiap jenjang sanadnya. Konsep yang ia ajukan ini sangat sulit, bahkan tidak mungkin, ditemukan dukungan praktisnya di dunia riwayat. Menyadari kekurangan konsep ini dari segi praktisnya, Ibn Hajar merubahnya dengan “sebuah hadits yang diriwayatkan oleh para perawi yang tidak kurang dari dua orang dari dua orang (aqallu 'an itsnain 'an itsnain).”[17] Namun benarkah ahli hadits menggunakan istilah ‘aziz dengan makna yang diajukan Ibn Hajar? Masih memerlukan pembuktian lebih lanjut.
Dominasi kitab-kitab mushthalah di kajian-kajian hadits kontemporer bahkan telah mendangkalkan ilmu hadist sehingga membuatnya sangat mirip dengan ilmu hitung. Sebuah hadits dihukumkan shahih karena perawinya tsiqah, dihukumkan hasan karena perawinya shaduq atau hasan al-hadits, dan dhaif karena perawinya dhaif. Jika sebuah hadits didukung oleh mutaba'ah atau syahid, maka nilainya terangkat menjadi hasan atau shahih li ghairihi, begitu seterusnya. Praktek ini mengesankan mudahnya menilai sebuah hadits semudah menjumlah angka-angka. Siapapun dapat melakukannya segera setelah dia membaca buku-buku mushthalah. Padahal tugas ini di fase riwayah merupakan pekerjaan berat yang menuntut ketelitian yang sangat luar biasa sehingga Al-Hakim (w. 405 H) berkata, “Hadits shahih tidak bisa diketahui dengan hanya melihat riwayatnya saja, tetapi hanya bisa diketahui dengan pemahaman, hafalan dan sering mengkaji (hadits). Satu hal yang paling membantu mengetahui ilmu ini adalah dengan banyak ber-muzakarah (diskusi) dengan pakarnya agar tersingkap 'illah hadits tersebut. Maka jika ditemukan sebuah hadits dengan sanad shahih, namun tidak dicantumkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, maka ahli hadits harus bersungguh-sungguh mencari 'illah-nya dan mendiskusikannya dengan para pakar hadits.”[18]
Tentu saja sikap sembrono dalam menilai hadits ini sangat berbahaya mengingat pentingnya posisi hadits di dalam struktur akidah, syariah dan etika seorang muslim. Pandangan “cetek (dangkal)” ini membuka peluang sangat lebar bagi orang-orang yang menyimpan niat tertentu – seperti Mahmud Abu Rayyah dan para pengikutnya- untuk menggunakan kaidah-kaidah ilmu hadits versi mutaakhirin dan kontemporer ini untuk menyerang warisan ulama hadits sendiri. Orang-orang yang sebenarnya tidak mengerti hadits sama sekali ini berani berbicara tentang hadits, bahkan berpolemik dengan pakar hadits klasik dan mengkritik buku-buku referensi hadits dengan alasan “sebagaimana yang tercantum di buku-buku mushthalah”.
Dengan demikian, harus ada upaya sistematik dari para peminat kajian hadits kontemporer untuk memfokuskan studi dan riset mereka kepada upaya menggali dan menyingkap serta memahami dengan lebih mendalam metode ahli hadits mutaqaddimin agar tercipta konsepsi dan perspektif yang jitu dalam mengkaji hadits Nabi Saw. Bagaimanapun, kesalahan sekecil apapun yang terjadi ketika menilai sebuah hadits akan mempengaruhi penampilan dan wajah Islam di mata dunia, belum lagi pengaruhnya di keberagamaan masyarakat yang mempunyai implikasi serius di kehidupan akhirat mereka kelak. Wallahu A'lam.
b. Status Perawi ditentukan Riwayatnya
Telah menjadi kesepakatan ulama sejak masa sahabat hingga saat ini bahwa seorang perawi yang haditsnya dinyatakan valid (shahih) dan argumentatif (hujjah) harus memenuhi syarat-syarat kepribadian yang disebutkan pakar hadits dan fiqih abad ketiga hijriah Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris Al-Syafi'i (w. 204 H) dalam kitab Al-Risalah, yaitu orang tersebut harus terpercaya keberagamaannya, terkenal jujur ucapannya, mengerti apa yang diriwayatkan, sadar akan kata-kata yang dapat merubah makna, menghafal haditsnya jika ia meriwayatkan dari hafalannya, menjaga catatannya jika ia meriwayatkan dari catatannya, tidak mudallis (meriwayatkan dari orang yang dijumpai hadits yang tidak didengar daripadanya) dan tidak menyalahi riwayat orang yang lebih terpercaya darinya.[19] Al-Baihaqi berkata, “Syarat-syarat yang disebutkan Asy-Syafii ini disepakati oleh semua ahli hadits.”[20] Para ulama kemudian menyimpulkan syarat-syarat yang harus dipenuhi seorang perawi ini menjadi dua, yaitu 'adalah (kepribadian terpuji) dan dhabth (sistem dokumentasi yang akurat). Seorang perawi yang memenuhi dua syarat ini diberikan predikat tsiqah.
Secara umum, semua kaum muslimin tidak dipertanyakan kepribadiannya selama tingkah lakunya sejalan dengan aturan dan etika agama. Imam Al-Syafii berkata, “Tidak ada seorang pun yang mentaati perintah Allah sehingga tak pernah berdosa. Dan tidak ada pula yang bermaksiat sehingga tidak pernah mentaati Allah. Oleh karena itu, jika sebagian besar amal seseorang dihiasi dengan ketaatan maka ia dianggap berkepribadian terpuji ('adl).[21] Setiap orang, dengan demikian, mampu menilai kepribadian orang lain apakah ia layak disebut 'adl atau tidak, meski sebagian ahli hadits mensyaratkan kesaksian dua orang untuk menyatakan penilaian tersebut.[22]
Sementara itu, dhabth seorang perawi hanya bisa dinilai oleh pakar hadits yang telah mengumpulkan semua hadits yang diriwayatkan orang tersebut sehingga mengetahui dengan pasti prosentase kesalahan dari keseluruhan riwayatnya. Jika kesalahan yang dilakukan dalam praktek riwayatnya sangat sedikit, maka orang tersebut dinilai tsiqah. Semakin sedikit kesalahannya, semakin tinggi nilai ke-tsiqah-annya sehingga ia digelari hujjah, hafiz bahkan amir al-mu'minin fi al-hadits. Sebaliknya, jika kesalahannya dalam riwayat lebih mendominasi, maka orang yang bersangkutan dinilai dhaif, bahkan jika kesalahannya dinilai sangat fatal orang itu bisa dilabel matruk (riwayatnya harus ditinggalkan sama sekali). Imam Al-Syafii berkata, “Ahli hadits yang banyak melakukan kekeliruan dan tidak memiliki buku catatan tidak kami terima haditsnya, sebagaimana orang yang terlalu banyak melakukan kesalahan dalam bersaksi tidak kami terima kesaksiannya.”[23]
Dalam tugasnya, seorang pakar hadits memeriksa setiap kata, bahkan setiap huruf, yang disampaikan perawi yang hendak dinilai kadar dhabth-nya itu, kemudian membandingkan riwayatnya dengan riwayat-riwayat orang lain sehingga kesalahan satu hurufpun akan dicatat bersama bioghrafinya. Siapa saja yang menelaah buku-buku yang ditulis khusus untuk menyebutkan nama-nama perawi yang “bermasalah” seperti Al-Dhu'afa karya Al-'Uqaili (w. 322 H), Kitab Al-Majruhin karya Ibn Hibban (w. 354 H) dan Al-Kamil fi Al-Dhu'afa milik Ibn 'Adi (w. 365 H), akan mendapati bahwa setiap perawi yang dinyatakan dhaif oleh ahli hadits disebutkan juga bersamanya bukti-bukti riwayah yang mendukung penilaian tersebut. Ini menunjukkan bahwa penilaian ahli hadits sangat obyektif, tidak pandang bulu dan selalu mengedepankan bukti. Ibn Hibban berkata, “Saya berlindung kepada Allah dari menilai buruk (jarh) seorang muslim tanpa bukti dan (tanpa) meyakini bahwa ia memang pantas (dinilai seperti itu).”[24]
Kesalahan-kesalahan dalam riwayat yang dapat memberikan nilai buruk bagi reputasi seorang perawi sangat banyak, antara lain me-rafa' sanad hadits yang seharusnya mawquf, me-musnad-kan sanad yang seharusnya mursal, keliru menyebut nama di sanad atau kata-kata di matan, menambah walau satu kata di dalam sanad atau matan, dan kesalahan-kesalahan lainnya. Ambil sebuah contoh seorang perawi yang bernama Muhammad bin Abdurahman bin Abi Laila imam ahli Kufah. Ia meriwayatkan dari Atha bin Abi Rabah (seorang ulama tabiin asal Mekah) dari Ibn Abbas bahwa Nabi Saw ketika 'umrah melafalkan talbiah hingga mengusap rukun Ka'bah.[25] Riwayat ini menyalahi riwayat ulama-ulama Mekah yang lebih dekat dengan Atha seperti Ibn Juraij, Hammam dan Abdul Malik bin Abi Sulaiman bahwa Atha meriwayatkannya dari Ibn Abbas tanpa menyebut Nabi Saw, begitu juga riwayat Mujahid dan Said bin Jubair dari Ibn Abbas.[26] Jadi hadits ini mawquf bukan marfu'. Ini membuktikan bahwa Abdurahman bin Abi Laila keliru sebab menyalahi riwayat orang-orang yang lebih banyak darinya. Al-Baihaqi berkata, “Me-rafa' hadits ini keliru. Ibn Abi Laila memang sering salah meriwayatkan hadits.”[27] Karena sering melakukan kesalahan seperti ini, beserta kesalahan-kesalahan lainnya, Ibn Abi Laila dinilai dhaif oleh para ulama.[28]
Kesalahan yang paling fatal di mata ahli hadits adalah ketika seseorang meriwayatkan hadits dari tokoh besar yang memiliki banyak murid, namun hadits tersebut tidak pernah dikenal dan diriwayatkan selain oleh perawi itu. Ahli hadits menilai orang yang sering melakukan hal ini dengan label “munkar al-hadits”. Misalnya, Furat bin Zuhair yang meriwayatkan dari Imam Malik bin Anas dari ibunya dari Umm 'Alqamah dari 'Aisyah bahwa Nabi Saw telah bersabda, “Pencuri adalah orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya, maka bunuhlah ia.” Imam Malik seorang tokoh besar yang memiliki ribuan murid, setiap hadits yang diriwayatkan dicatat dan dikumpulkan oleh murid-muridnya. Ketika tidak ada seorangpun dari murid-murid Imam Malik yang meriwayatkan hadits ini selain Furat, juga ia tidak dikenal sebagai murid Malik, ini menjadi indikasi kuat bahwa Furat telah berdusta atas nama imam besar ini. Maka tak heran jika Ibn Hibban mendustakannya dan berkata, “Tidak halal meriwayatkan haditsnya atau berargumentasi dengannya.”[29]
Jadi, di fase riwayah hadits-hadits yang diriwayatkan menentukan nilai seorang perawi. Saya sadar ketika mengatakan bahwa seorang perawi tsiqah adalah orang yang kesalahannya dalam riwayah sangat sedikit, dan perawi dhaif adalah orang yang kesalahannya sangat - bahkan terlalu - banyak, bahwa ucapan ini menegaskan bahwa seorang tsiqah bisa keliru dalam riwayat sebagaimana seorang dhaif bisa benar. Memang seperti itu adanya di metode kritik ahli hadits mutaqaddimin yang sangat obyektif. Seorang tsiqah tidak disyaratkan bebas dari semua kesalahan (ma'shum), sehingga kita menemui banyak sekali kritik-kritik yang ditujukan kepada perawi tsiqah di hadits-hadits tertentu tanpa mengurangi kredibilitas mereka di hadits-hadits yang lain. Imam Al-Syafii berkata untuk mengkritik gurunya, “Imam Malik keliru menyebut tiga nama…”[30] meski begitu Imam Malik tetap tsiqah menurut Imam Al-Syafii dan semua ahli hadits. Ibn Al-Madini berkata, “Semua ahli hadits pernah keliru kecuali empat orang: Yazid bin Zurai', Ibn 'Ulayyah, Bisyr bin Al-Mufadhal dan 'Abdul Warits bin Sa'id.”[31] Andai seorang tsiqat tidak boleh keliru, tidak ada perawi hadits yang tsiqat selain empat orang ini.
Begitu juga sebaliknya, karena perawi dhaif kadang benar dalam meriwayatkan hadits, kita mendapati sebagian nama-nama perawi yang dinilai dhaif terdapat di kitab-kitab yang disepakati keshahihannya oleh ahli hadits.[32] Sepeti Fulaih bin Sulaiman dan lain-lain di Shahih Al-Bukhari, Suwaid bin Said dan lain-lain di Shahih Muslim. Para ulama hadits sepakat bahwa Al-Bukhari dan Muslim memilih (intiqa) sekian banyak dari hadits-hadits yang diriwayatkan perawi-perawi dhaif ini yang terbukti benar dan sejalan dengan perawi-perawi tsiqat.
Sementara itu, jika kita beralih ke buku-buku karya ahli hadits mutaakhirin dan kontemporer kita melihat penilaian mereka terhadap seorang perawi bertumpu kepada referensi-referensi yang hanya memberikan penilaian global (al-hukm al-ijmali) kepada setiap perawi seperti “Taqrib Al-Tahdzib” dan “Tahdzib Al-Tahdzib” karya Ibn Hajar. Jika memiliki semangat lebih membara, maka rujukannya adalah kitab “Al-Jarh wa Al-Ta'dil” karya Ibn Abi Hatim. Berbekalkan penilaian global ini mereka kemudian menilai hadits-hadits yang diriwayatkan perawi tersebut, jika dia tsiqah maka haditsnya shahih, jika dhaif maka haditsnya dhaif, jika shaduq atau hasan al-hadits maka haditsnya hasan, dan seterusnya. Jadi pada fase pasca riwayah ini, penilaian terhadap perawi menentukan nilai sebuah hadits yang diriwayatkan. Konsekwensinya, kita seolah dipahamkan bahwa seorang tsiqah tidak mungkin keliru sehingga haditsnya dhaif, dan seorang dhaif tidak pernah benar sehingga haditsnya dinilai shahih.
Perbedaan paradigma ini menimbulkan masalah ketika para ulama mutaqaddimin menilai keliru sebuah hadits yang diriwayatkan perawi tsiqah, sementara ulama mutaakhirin dan kontemporer yang tidak mampu memahami kedalaman analisa mereka menolak penilaian tersebut. Ambil contoh riwayat Syu'bah bin Al-Hajjaj (seorang imam yang sangat tsiqah hingga digelari amir al-mu'minin fi al-hadits) dari Malik bin 'Urfuthah dari Abd Khair dari Ali bin Abi Thalib yang menceritakan tata cara wudhu Rasulullah Saw. Semua pakar hadits mutaqaddimin - seperti Imam Ahmad, Al-Bukhari, An-Nasai, Al-Tirmidzi, Abdullah bin Ahmad, Al-Bazzar, Ibn Hibban, Al-Hakim dan lain-lain- sepakat bahwa Syu'bah keliru dalam menyebut nama gurunya, yang benar adalah Khalid bin 'Alqamah bukan Malik bin 'Urfuthah. Alasan mereka, Za’idah bin qudamah dan lain-lain meriwayatkan hadits ini dari Khalid bin 'Alqamah.[33] Boleh jadi Syu'bah keliru membaca nama ini sebab tulisan tangan berbahasa Arab untuk Khalid bin 'Alqamah sangat mirip dengan Malik bin Urfuthah. Namun Syeikh Ahmad Syakir (semoga Allah merahmatinya) tidak setuju mengatakan Syu'bah keliru dan bersikeras menshahihkan jalur riwayat tersebut dengan alasan “Syu'bah tsiqah.”[34]
Begitu juga hadits riwayat Habib bin Abi Tsabit dari 'Urwah dari Aisyah bahwa Nabi Saw mencium salah seorang istrinya lalu keluar untuk shalat tanpa berwudhu'.[35] Hadits ini didhaifkan oleh semua huffaz mutaqaddimin - antara lain Sufyan Al-Tsauri, Yahya bin Sa'id Al-Qathan, Yahya bin Ma'in, 'Ali bin Al-Madini, Al-Syafi'i, Ahmad bin Hanbal, Abu Hatim, Al-Bukhari, Al-Tirmidzi, Abu Dawud, Abu Bakr Al-Naisaburi, Al-Daruquthni, Al-Baihaqi dan lain-lain – karena 'Urwah di dalam sanad ini adalah Al-Muzani, seorang perawi yang tidak dikenal, bukan 'Urwah bin Zubeir yang tsiqah.
Lagi pula riwayat ini tidak dikenal di hadits-hadits yang diriwayatkan oleh 'Urwah bin Zubeir (harus diingat bahwa ahli hadits telah mengumpulkan hadits-hadits 'Urwah dari 'Aisyah dalam dokumen tersendiri), yang ada hanya riwayatnya dari 'Aisyah “bahwa Nabi Saw mencium salah satu istrinya dalam keadaan puasa.” Jadi para ulama klasik ini menduga kuat telah terjadi kekeliruan dalam sanad yang diriwayatkan oleh Habib bin Abi Tsabit ini, yakni perawinya hendak meriwayatkan hukum puasa orang yang mencium istrinya, namun keliru sehingga berpindah ke hukum wudhu.[36]
Namun ulama mutaakhirin menyanggah penilaian tersebut mulai dari Ibn Al-Turkmani (w. 745 H) dan Al-Zaila'i (w. H) hingga Syeikh Ahmad Syakir dan Syeikh Nashiruddin Al-Albani (semoga Allah merahmati mereka semua).[37] Bermodalkan penilaian bahwa Habib bin Abi Tsabit tsiqah dan ia hidup semasa dengan 'Urwah bin Zubeir, jadi sesuai dengan “mazhab Muslim” riwayatnya dinyatakan bersambung [38] (padahal tidak ada pernyataan dari Imam Muslim yang menshahihkan hadits ini). Oleh karena itu mereka menilai bahwa sanad ini shahih.
Perselisihan yang terjadi antara kubu mutaqaddimin dan al-mutaakhiirin (kontemporer) ini ternyata tidak sebatas perbedaan ijtihad, namun kita dapat menemukan indikasi-indikasi yang menunjukkan bahwa sebagian dari tokoh-tokoh mutaakhirin dan kontemporer menyimpan prasangka buruk yang lahir akibat persepsi tertentu. Syeikh Ahmad Syakir, dalam komentarnya terhadap hadits Habib bin Abi Tsabit di atas, menuduh bahwa para ahli hadits mutaqaddimin yang menolak hadits ini membangun penilaian dhaifnya atas dasar fanatisme mazhab. Sebuah tuduhan tak mendasar yang patut disesalkan, namun sayangnya kerap diulangi oleh ulama-ulama kontemporer.
Tuduhan serupa diajukan oleh Syeikh Ahmad Al-Ghumari (ulama hadits juga “mujtahid” seperti Syeikh Ahmad Syakir yang hidup semasa dengannya) kepada Yahya bin Ma'in ketika pakar hadits dari masa riwayah ini mendhaifkan hadits riwayat Nu'aim bin Hammad dari 'Isa bin Yunus dari Huraiz bin 'Utsman dari Abdurahman bin Jubair bin Muth'im dari bapaknya dari 'Auf bin Malik bahwa Nabi Saw bersabda, “Umatku akan terpecah menjadi lebih dari tujuh puluh golongan. Kelompok terburuk dari mereka adalah orang-orang yang meng-qiyas dengan pendapat sendiri, sehingga mereka mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.”[39] Al-Ghumari menuduh penilaian Ibn Ma'in didasari oleh fanatiknya kepada mazhab Hanafi karena semua perawi hadits ini tsiqah.[40] Padahal hadits ini di-dhaif-kan juga oleh Imam Ahmad, Al-Bazzar, Ibn 'Adi, Al-Baihaqi, Ibn Abd Al-Barr, dan Al-Dzahabi. Tidak mungkin semua ulama yang berbeda-beda haluan mazhabnya ini fanatik kepada Abu Hanifah.
Fakta yang sebenarnya adalah mereka menilai hadits ini munkar karena “tidak ada yang meriwayatkan dari 'Isa bin Yunus selain Nu'aim bin Hammad.”[41] Kesendirian (tafarrud) ini menjadi indikasi kekeliruan Nu'aim bin Hammad, walaupun dia tsiqah, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Adapun mutaba'ah (dukungan riwayat) untuk Nu'aim bin Hammad yang disebutkan oleh Al-Ghumari, semuanya tidak menghapus kemunkaran hadits tersebut sebab perawi-perawinya dhaif dan terkenal sering mencuri riwayat. Oleh karena itu Al-Baihaqi mengatakan bahwa perawi-perawi yang dikatakan Al-Ghumari mendukung riwayat Nu'aim bin Hammad ini sebenarnya mendengar hadits itu dari Nua'im lalu mencurinya.[42] Hemat saya, kegagalan Al-Ghumari memahami metode mutaqaddimin ini lebih patut disalahkan, daripada mengkhayalkan fanatisme yang tak pernah wujud itu.
Setiap perselisihan yang terjadi antara dua kubu ini, kita akan selalu melihat bahwa kubu mutaqaddimin adalah kubu yang paling teliti menilai hadits. Penilaian mereka sangat mendalam dengan memperhatikan berbagai informasi yang dapat mendukung penilaian tersebut. Ahli hadits mutaqaddimin misalnya sepakat bahwa Ma'mar bin Rasyid, seorang murid Az-Zuhri asal Basrah dan menetap di Yaman, sering keliru ketika meriwayatkan hadits di Basrah. Itu karena ketika imam yang terkenal tsiqat ini datang ke Basrah untuk mengunjungi ibunya, ia tidak membawa serta buku-bukunya. Imam Ahmad dan Ya'qub bin Syaibah berkata, “Riwayat ahli Basrah dari Ma'mar semua keliru, sebab ia tidak membawa buku-bukunya.”[43] Salah satu “hadits-hadits Basrah” itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abdul Wahid bin Ziyad dan ahli Basrah lainnya dari Ma'mar dari Az-Zuhri dari Sa'id bin Al-Musayyab berkata: Ali bin Abi Thalib berkata, “Ketika aku memandikan Nabi Saw, aku mencari tanda-tanda kematiannya, tapi aku tidak menemukan (tanda-tanda tersebut). Beliau tetap wangi ketika hidup dan matinya.”[44] Hadits ini diriwayatkan oleh murid-murid Ma'mar di Yaman dengan sanad yang sama hingga ke Ibn Al-Musayyab berkata, “Ali bin Abi Thalib mencari tanda-tanda kematian Rasulullah ketika ia memandikan beliau, namun tidak menemukannya.” Seperti ini juga hadits ini diriwayatkan oleh Al-Awza'i, Shalih bin Kisan dan murid-murid Az-Zuhri lainnya dari Az-Zuhri. Jadi hadits ini mursal sebab Said bin Al-Musayyab belum lahir ketika Sayyidina Ali memandikan Nabi Saw, dan ia juga tidak menyebutkan nama orang yang memberitahukannya. Al-Daruquthni berkata, “Riwayat mursal lebih benar.”[45] Al-Dzahabi, seorang ulama mutaakhirin ketika menyanggah penilaian Al-Hakim, menyetujui ucapan Al-Daruquthni dan berkata, “Hadits ini (sanadnya) terputus.”[46]
Namun Syeikh Al-Albani (semoga Allah merahmatinya) menolak ucapan Al-Dzahabi yang sejalan dengan ahli hadits mutaqaddimin ini dengan berkata, “Ucapan ini tidak berdasar, sebab hadits ini riwayat Ma'mar dari Az-Zuhri dari Sa'id bin Al-Musayab dari 'Ali. Ini sanad yang bersambung, masing-masing perawinya terkenal mendengar dari yang lain. Adapun riwayat Ma'mar dari Az-Zuhri, dan riwayat Az-Zuhri dari Sa'id tidak perlu dipertanyakan lagi. Sementara riwayat Sa'id dari 'Ali maka (sanad ini) bersambung pula, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al-Hafiz (Ibn Hajar) di Tahzib. Bahkan ia menyebutkan bahwa ia mendengar dari 'Umar (bin Al-Khattab) juga.”[47] Perhatikan analisa dangkal dalam menganalisa hadits ini. Jelas sekali bahwa tugas menilai hadits memerlukan pemahaman, hafalan dan kajian yang mendalam sebagaimana yang diucapkan oleh Imam Al-Hakim.
d. Penutup
Ilmu mushthalah hadits idealnya adalah sebuah ilmu yang menjelaskan metode ahli hadits sebagaimana yang ditampilkan oleh ulama mutaqaddimin dalam praktek ilmiah mereka mengkaji dan menilai riwayat. Oleh karena itu, sikap yang harus ditampilkan oleh generasi pasca riwayah adalah belajar dari ahli hadits masa riwayah dengan memahami dengan benar dan mendalam setiap perkataan dan metode mereka, bukan menghakimi dan menentang, apalagi menyalahkan. Anehnya, sebagian besar tokoh-tokoh kontemporer yang sering kita jumpai menentang ulama-ulama hadits mutaqaddimin itu adalah para aktivis yang sangat giat mengajak kembali ke mazhab salaf. Siapakah salaf yang dimaksud jika bukan ulama-ulama mutaqaddimin itu?
Sebesar apapun upaya yang dikerahkan ulama mutaakhirin, apalagi kontemporer, untuk menilai sebuah riwayat tidak akan menyamai ketelitian metode yang diterapkan oleh ahli hadits mutaqaddimin. Hal ini ditegaskan oleh Imam Al-Dzahabi, seorang pakar hadits yang diakui oleh Ibn Hajar telah melakukan penelitian sempurna terhadap semua perawi hadits, ketika berkata, “Wahai syeikh, sayangi dirimu dan insyaflah. Janganlah kamu memandang para huffaz itu dengan pandangan remeh dan menghina. Dan jangan pula kamu mengira bahwa mereka sama dengan ahli-ahli hadits di masa kita ini. Tidak, tidak ada seorangpun tokoh-tokoh hadits di masa kita ini yang mencapai pengetahuan mereka (dalam hadits). Saya mengira -melihat dari besarnya hawa nafsumu- bahwa seolah kamu berkata, siapa Ahmad? Siapa Ibn Al-Madini? Siapa Abu Zur'ah dan Abu Dawud? Diamlah dengan bijak atau bicaralah dengan ilmu…”[48]
Dengan demikian, harus ada upaya sistematik dari para peminat kajian hadits kontemporer untuk memfokuskan studi dan riset mereka kepada upaya menggali dan menyingkap serta memahami dengan lebih mendalam metode ahli hadits mutaqaddimin agar tercipta konsepsi dan perspektif yang jitu dalam mengkaji hadits Nabi Saw. Bagaimanapun, kesalahan sekecil apapun yang terjadi ketika menilai sebuah hadits akan mempengaruhi penampilan dan wajah Islam di mata dunia, belum lagi pengaruhnya di keberagamaan masyarakat yang mempunyai implikasi serius di kehidupan akhirat mereka kelak. Wallahu A'lam.
________________________________________
[1] Pembagian fase riwayah dan pasca riwayah, lalu pembagian ahli hadits menjadi Al-Mutaqaddimin dan Al-Mutaakhirin ditegaskan oleh Dr Hamzah Al-Malyabari dalam buku-bukunya seperti Al-Muwazanah baina al-Mutaqaddimin wa Al-Mutaakhirin fi Ta'lil Al-Ahaadits wa Tashhihiha (Dar Ibn Hazm, Beirut, cet. Kedua, 2001). Di Damaskus, pembagian ini ditegaskan juga oleh guru hadits muda yang sangat cemerlang: guru saya Fadhilah Syeikh Riyadh bin Muhammad Salim Al-Khiraqi.
[2] Abdullah bin Al-Mubarak berkata, “Sanad adalah bagian dari agama. Tanpa sanad, setiap orang bisa berbicara sembarang keinginannya.” Sufyan Al-Tsauri berkata, “Sanad adalah senjata muslim.” “Shahih Muslim” (Dar Al-Salam, Riyadh, 1998) hal. 12.
[3] “Kitab Al-Majruhiin min al-Muhadditsin” (tahqiq Hamdi Al-Silafi, Dar Al-Shamai'i, Riyadh, cet. Pertama, 2000 ) 1/54-55.
[4] “Manaqib Al-Syafi'i” (tahqiq Al-Sayyid Ahmad Shaqr, Maktabah Dar Al-Turats, Cairo) 2/321.
[5] “'Ulum Al-Hadits” atau “Muqaddimah” Ibn Al-Shalah (tahqiq Dr Nuruddin 'Itr, Dar Al-Fikr, Damaskus, cet. Ketiga, 2002) hal. 17.
[6] “Siyar A'lam An-Nubala”, Muhammad bin Ahmad Al-Dzahabi, (tahqiq Syeikh Syuaib al-Arnauth, Muassah Al-Risalah, Beirut, cet. kesebelas, 1996) 7/431.
[7] “'Ulum Al-Hadits” Ibn Al-Shalah hal. 91.
[8] Sementara itu, kedua “istilah” ini dibedakan dengan sangat teliti oleh mutaakhirin. Mursal adalah keterputusan yang terjadi di akhir sanad, dan munqathi adalah keterputusan yang terjadi di tengah sanad.
[9] Mutaakhirin mendefiniskan munkar sebagai sebuah hadits yang diriwayatkan seorang perawi yang dinilai dhaif dan bertentangan dengan riwayat perawi lain yang dinilai lebih tsiqah darinya. Lihat “Syarh An-Nukhbah” (tahqiq Dr Nuruddin 'Itr, cet. ketiga, 2000) hal.
[10] Silahkan koleksi dan analisa kalimat munkar yang diucapkan Abu Hatim dan Abu Zur'ah dalam kitab “'Ilal Al-Hadits”, begitu juga kalimat munkar di dalam “Al-Sunan” Abu Dawud dan “Al-Sunan” Al-Nasa'i, Anda akan dapati ratusan kasus yang tidak sejalan dengan konsep munkar versi mutaakhirin. Kita dapat menyimpulkan bahwa munkar menurut para pakar hadits mutaqaddimin ini adalah hadits-hadits yang diingkari karena berbagai sebab, antara lain karena sanadnya atau matannya keliru. Sementara itu, definisi munkar yang diajukan Al-Bardiji (seorang ulama mutaqadimin) sebagai “sebuah hadits yang hanya diriwayatkan oleh satu orang (yanfaridu bihi al-rajul), dan matannya tidak dikenal kecuali dari riwayat orang ini,” (muqaddimah Ibn Shalah hal. 80), ucapan ini lebih tepat dipahami sebagai pengungkapan salah satu aspek yang melahirkan pengingkaran ahli hadits, tanpa harus menutup aspek-aspek lainnya, daripada dilihat sebagai sebuah pembatasan yang mencegah masuknya sebab-sebab pengingkaran yang lain.
Ketika Imam Ibn Hajar mendefinisikan munkar dengan “perawi dhaif yang menyalahi perawi tsiqah” (Syarh An-Nukhbah hal. 73), Qasim Quthlubugha, murid cemerlang Ibn Hajar, tidak setuju dan membuktikan bahwa definisi gurunya ini tidak sejalan dengan praktek ahli hadits dengan menyebutkan contoh-contoh penggunaan kalimat ini di buku-buku hadits. Ia lalu berkesimpulan, “Agaknya ma'ruf dan munkar bukan bagian hadits tersendiri, melainkan sekedar kata-kata yang digunakan untuk melemahkan sebuah riwayat. Akan tetapi penulis (Ibn Hajar) menjadikan keduanya bagian hadits-hadits tertentu sehingga tidak sejalan dengan praktek ilmiah ahli hadits.” Hasyiah 'ala Matn An-Nukhbah hal. 68.
[11] Terkadang seorang pakar yang mumpuni dapat meyakini telah terjadi kekeliruan di dalam hadits yang dianggap ganjil meski belum mengetahui sebab kesalahannya seperti ucapan Abu Hatim ketika ditanya tentang sebuah hadits, “Kami menganggap ganjil (kunna nastaghribu) hadits ini, meski kami tidak tahu 'illah-nya kami yakin bahwa (hadits) ini keliru...” “'Ilal Al-Hadits” Abdurahman bin Abi Hatim (Dar Al-Ma'rifah, Beirut, 1985) 2/151 (1946).
[12] “'Ilal Al-Hadits” 1/377 (1122).
[13] Andai hadits 'Ikrimah bin Khalid tadi tidak keliru, Abu Hatim akan menilainya dengan “hasan shahih” sebagaimana penilaiannya untuk hadits riwayat Zaid bin Waqid dari Mughits bin Sumayy dari Abdullah bin 'Amr berkata: Mereka (para sahabat Nabi Saw) bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa manusia terbaik? Beliau menjawab, “Orang yang hatinya selalu bersedih dan lisannya selalu jujur.” Abu Hatim berkata, “Hadits ini shahih hasan. Zaid jujur (mahalluhu al-shidq) dan konon bermazhab qadariah. “'Ilal Al-Hadits” 2/127 no. (1873).
[14] “Al-Jami' li Akhlaq Ar-Rawi wa Adab As-Sami'“ Al-Khatib Al-Baghdadi (Dar Al-Kutub Al-'Ilmiah, Beirut, cet. kedua, 2003) hal. 296.
[15] “'Ilal Al-Hadits” 1/92 no. (248).
[16] Gharib menurut Ibn Hajar adalah hadits yang hanya diriwayatkan dengan satu jalur saja. Hasan adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang hafalannya tidak mencapai derajat perawi shahih.
[17] “Syarh An-Nukhbah” hal. 47.
[18] “Ma'rifah 'Ulum Al-Hadits” Al-Hakim Al-Naisaburi (tahqiq Sayid Mu'zham Husain, Maktabah Al-Mutanabbi, Cairo) hal. 59-60. Ucapan ini menegaskan bahwa setiap hadits yang tidak tercantum di dalam As-Shahihain harus diperiksa dengan ekstra hati-hati. Al-Bukhari dan Muslim memang tidak mengumpulkan semua hadits shahih, namun kemungkinan bahwa keduanya meninggalkan sebuah hadits dengan sengaja karena terdapat 'illah tersembunyi di dalam hadits itu sangat besar. Ucapan ini disetujui oleh Ibn Abd Al-Bar sebagaimana yang dikutip oleh Ibn Hajr di “An-Nukat 'ala Kitab Ibn Al-Shalah” (Dar Al-Kutub Al-'Ilmiah, Beirut) hal. 85. Oleh karena itu, setiap orang yang hendak menilai sebuah hadits harus takut kepada Allah dan benar-benar berhati-hati, apalagi penilaiannya terhadap hadits itu akan menentukan wajah agama Islam. Konon Imam Al-Bukhari sendiri setiap kali hendak mencantumkan sebuah hadits di dalam kitab “Shahih”-nya melakukan shalat dua rakaat terlebih dahulu.
[19] “Al-Risalah” Muhammad bin Idris Al-Syafi'i (tahqiq Syeikh Ahmad Syakir, Dar Al-Kutub Al-'Ilmiah, Beirut) hal. 370-371.
[20] “Ma'rifah As-Sunan wa Al-Atsar” Al-Baihaqi (tahqiq Dr Abdul Mu'thi Qal'aji, Dar Al-Qutaybah, DAmaskus, 1991) 1/133.
[21] Referensi yang sama 14/314.
[22] Lihat perdebatan tentang hal ini misalnya di “Al-Kifayah” Al-Khatib Al-Baghdadi (Dar Al-Kutub Al-'Ilmiah, Beirut) hal. 96, “'Ulum Al-Hadits” Ibn Al-Shalah hal. 109, “At-Taqyid wa l-Idhah” Al-Iraqi (Dar Al-Kutub Al-'Ilmiah, Beirut, 1999) hal. 117.
[23] “Al-Risalah” hal. 382.
[24] “Kitab Al-Majruhin” 1/413.
[25] Diriwayatkan oleh Abu Dawud (tahqiq Muhyiddin Abdul Hamid, Dar Al-Kitab Al-Arabi, Beirut) no. (1817), Al-Tirmidzi (Dar Al-Kutub Al-'Ilmiah, Beirut) no. (919), dan Al-Baihaqi di “Ma'rifat Al-Sunan wa Al-Atsar” 7/268.
[26] Diriwayatkan oleh Muhammad bin Al-Hasan Al-Syaibani di “Al-Hujjah 'ala Ahl Al-Madinah” 2/86, Al-Syafii di “Musnad” (Dar Al-Kutub Al-'Ilmiah, Beirut) hal. 126, Ibn Abi Syaibah di “Al-Mushannaf” (tahqiq Kamal Yusuf Al-Hut, Maktanah Al-Rusyd, Riyadh, 1409 H) no. (14004), Abu Dawud no. (1817), dan Al-Baihaqi di “Ma'rifat Al-Sunan wa Al-Atsar” 7/268.
[27] “Ma'rifat Al-Sunan wa Al-Atsar” 7/268.
[28] Lihat penilaian ahli hadits di “Mizan Al-I'tidal” (Dar-Fikr, Beirut, 1999) 3/587 (8284).
[29] “Kitab Al-Majruhin” 2/10. Saya berharap ada mahasiswa jurusan hadits yang cukup rajin menerapkan logika ini untuk memeriksa semua riwayat tokoh-tokoh Syiah -seperti Zurarah bin A'yan , Jamil Al-Darraj dan lain-lain- dari Imam Ja'far Al-Shadiq dan bapaknya Muhammad Al-Baqir (semoga Allah merahmati keduanya), sehingga dapat membuktikan sendiri mengapa ahli hadits menolak sebagian besar, jika bukan semua, riwayat mereka dari kedua cucu Nabi Saw ini.
[30] “Manaqib Asy-Syafii” 1/491.
[31] “Syarh 'Ilal Al-Tirmidzi” Ibn Rajab Al-Hanbali (tahqiq Dr Nuruddin 'Itr, Dar Al-'Atha, cet. keempat, 2001) 1/161.
[32] Waliyuddin Al-'Iraqi menulis sebuah buku berjudul “Al-Bayan wa Al-Tawdhih” untuk menyebutkan nama-nama perawi yang diriwayatkan haditsnya oleh Al-Bukhari dan Muslim namun dinilai dhaif oleh ahli hadits.
[33] Lihat “Al-'Ilal wa Ma'rifat al-Rijal” Imam Ahmad (Al-Maktab Al-Islami, Beirut, 1988) no. (1210), “Sunan Al-Mujtaba” An-Nasa'i no. (93), “Sunan Al-Tirmidzi” 1/69, “Al-Bahr Al-Zakhar” atau Musnad Al-Bazzar (Muassah 'Ulum Al-Qur'an, Beirut, 1988) 2/474 no. (718), “Ma'rifat 'Ulum Al-Hadits” Al-Hakim hal. 149.
[34] Lihat komentar Syeikh Ahmad Syakir di catatan kaki “Al-Jami' Al-Shahih” Al-Tirmidzi (Dar Al-Kutub Al-'Ilmiah, Beirut) 1/69.
[35] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad di “Musnad” (tahqiq Syeikh Syu'aib Al-Arnauth, Muassasah Al-Risalah, Beirut) 6/210, Abu Dawud (179), Al-Tirmidzi (86), Ibn Majah (Tahqiq Fuad Abul Baqi, Dar Al-Rayyan) no. (502), Al-Daruquthni (Dar Al-Ma'rifah, Beirut, 2001) no. (487) (488), Al-Baihaqi di “Al-Sunan Al-Kubra” (Dar Al-Ma'rifah, Beirut) 1/126.
[36] Kekhawatiran ini dinyatakan oleh Imam Syafii, Ahmad, Al-Tirmidzi dan Abu Bakr Al-Naisaburi . Semua riwayat-riwayat yang serupa dengan hadits ini hingga ke 'Aisyah sanadnya bermasalah. Imam Al-Baihaqi mendhaifkan semua sanad itu di dalam kitab “Al-Khilafiyat”.
[37] Lihat “Al-Jawhar An-Naqiy” (dicetak di pinggir kitab “Al-Sunan Al-Baihaqi”) 1/124, “Nashb Al-Rayah” (Dar Ihya Al-Turats Al-'Arabi, Beirut, cet. ketiga, 1987) 1/37-39, “Al-Jami' Al-Shahih” tahqiq Syeikh Ahmad Syakir 1/134-140 dan “Al-Misykat” karya Al-Albani hal. 1/105.
[38] Kita akan mendiskusikan mazhab Imam Muslim yang sebenarnya di kesempatan lain, insya Allah.
[39] Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bazzar di “Al-Bahr Al-Zakhar” 7/219 (2390), Al-Thabarani di “Al-Mu'jam Al-Kabir” (tahqiq Syeikh Hamdi Al-Salafi, Maktabah Ibn Taimiah, Cairo) 12/145 (14157) dan di “Musnad Al-Syamiyyin” (tahqiq Syeikh Hamdi Al-Salafi, Muassasah Al-Risalah, Beirut, 1989) 2/143 no. (1072), Ibn 'Adi di “Al-Kamil” (Dar Al-Fikr, Beirut) 7/17 dan dishahihkan oleh al-Hakim di “Al-Mustadrak” (tahqiq Dr Mahmud Matharji, Dar Al-Fikr, Beirut, 2002) no. (8496).
[40] “Al-Ajwibah Al-Sharifah” Ahmad bin Muhammad Al-Ghumari (Dar Al-Kutub Al-'Ilmiah, Beirut, cet. pertama, 2002) hal. 76.
[41] Lihat “Al-Bahr Al-Zakhar” 7/219, “Al-Madkhal ila As-Sunan Al-Kubra” 1/151, “Jami' Bayan Al-'Ilm” 2/163.
[42] “Al-Madkhal ila As-Sunan Al-Kubra” 1/151.
[43] Lihat “Syarh 'Ilal Al-Tirmidzi” 2/602-603.
[44] Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bazzar di “Al-Bahr Al-Zakhar” (486), Al-Hakim di “Al-Mustadrak” (1370), Al-Baihaqi di “Al-Sunan Al-Kubra” 3/388.
[45] “'Ilal Al-Daruquthni” (tahqiq Mahfuz Al-Rahman Zain Al-Salafi, Dar Al-Thaibah, Riyadh, 1999) 3/219 no. (371).
[46] “Talkhish Al-Mustadrak” (dicetak di pinggir kitab “Al-Mustadrak”) 1/472.
[47] “Ahkam Al-Janaiz wa Bida'uha” (Maktabah Al-Ma'arif, Riyadh, 1992) hal. 68.
[48] “Tazkirah Al-Huffaz” Muhammad bin Ahmad Al-Dzahabi, (Dar Al-Kutub Al-'Ilmiah, Beirut) hal. 726.

Sumber : http://umarmnoor.blogspot.com/2011/03/membandingkan-metode-mutaqaddimin-dan.html

Jumat, 15 Juni 2012

Beban Mengajar Guru 2012

Pada tahun 2009 Menteri Pendidikan Nasional telah menetapkan Permendiknas no 39 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru dan Pengawas, Download disini, dimana guru masih diberikan alternatif untuk memenuhi beban kerja yang belum dapat mencapai beban mengajar minimal, yaitu 24 jam tatap muka, sebagaimana tersebut dalam pasal 5, akan tetapi  ini hanya berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2012, sebagaimana tertuang dalam Permendiknas no 30 tahun 2011, sebagai perubahan daripada Permendiknas no 39 tahun 2009 yang lalu. Perubahan Permendiknas ini dapat anda download Disini.
Oleh karena itu untuk dapat memenuhi beban mengajar minimal tersebut, maka Menteri Pendidikan Nasional akan memfasilitasi pemerataan penempatan guru sesuai dengan kebutuhannya serta sebagai solusi kekurangan jam mengajar yang tertuang dalam SK bersama lima menteri yang dapat anda download disini.
Dengan demikian maka, Beban mengajar bagi seorang guru sebagaimana tersebut dalam perubahan pasal 5, mulai tahun 2012 adalah 24 jam tatap muka dan harus sesuai dengan mata pelajaran yang diampunya.
Pemenuhan beban mengajar minimal ini diberlakukan bagi semua guru baik yang sudah bersertifikasi maupun yang belum bersertifikasi karena ini berkaitan dengan akan diberlakukan sistem perhitungan angka kredit terbaru bagi guru yang akan mengajukan Penetapan Angka Kredit mulai tahun 2013 mendatang. Untuk Pedoman Pengajuan Penetapan Angka Kredit (PAK) terbaru dapat di download di bawah ini:
Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, Klik Disini
Lampiran Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, Klik Disini..

sumber http://www.sman1-sekadau.sch.id/info-sekolah/169-beban-mengajar.html

Download Software Pembuat Website – Website X5 – Secara Gratis dan Legal!

 

ditulis oleh Febian

Kini dunia online semakin populer, banyak orang yang memiliki website sendiri..baik itu untuk berbisnis, berbagi cerita, berjualan online, bahkan hanya untuk sekedar eksistensi saja. Bagi anda yang ingin membuat website namun tidak mengerti caranya, anda tidak perlu khawatir. Software pembuat website – Website X5 – bisa membantu anda membuat website dengan mudah. Dengan software ini anda tidak perlu mahir coding dan pemrograman untuk bisa membuat website sederhana. Cara membuat website yang terkadang sedikit rumit pun tidak perlu anda kuasai. Anda tertarik membuat website sendiri dengan Website X5?

advertisements

Download Software Pembuat Website - Website X5 - Secara Gratis dan Legal!

Website X5 adalah software untuk membuat website yang bisa memudahkan anda dalam membuat website statis sederhana. Membuat website menggunakan software ini tidak lebih sulit daripada mengoperasikan Microsoft Office. Semua tools telah disediakan, bahkan berbagai template siap pakai juga tersedia.

Secara normal, Website X5 dijual dengan harga 9.95 Euro. Namun dengan cara berikut ini, anda bisa mendapatkannya secara gratis! Cukup ikuti panduan singkat berikut ini:

advertisements

1. Download installer Website X5 disini

2. Install software tersebut, pada saat proses instalasi silahkan klik tombol “Unlock” dan sebuah halaman website akan terbuka.

software membuat website

3. Silahkan create new account (pastikan semua data dan centang sudah anda isi) dan sesudah itu login ke akun anda tersebut.

membuat website

4. Setelah itu anda akan diminta memasukkan Product Code atau Promo code. Masukkan promo code berikut ini dan klik “Send” :

E1IA-S9P0-H2C0

cara membuat website

5. Lisensi Website X5 akan dikirimkan ke alamat email anda.

Lisensi Website X5

6. Aktifkan Website X5 dengan lisensi yang telah anda terima.

software untuk membuat website

Untuk menggunakan Website X5, cukup double klik iconnya di desktop anda dan klik logo Website X5 8 yang ada di pojok kanan bawah.

software untuk membuat website

Mudah sekali bukan? Kini anda telah memiliki software Website X5 seharga 9,95 Euro secara gratis!

Sumber pustagratis.com.

Rabu, 13 Juni 2012

Tugas malaikat Jibril

"Tugas malaikat Jibril kan menyampaikan wahyu udah selesai, nah kira-kira apa ya tugas malaikat Jibril sekarang? Beserta dalilnya !" , tanya teman saya di facebook.

Maka dengan mambaca basmalah dan salawat kepada Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam saya menjawab:

Selain menyampaikan wahyu dari Allah subhanahu wata'ala, ada tugas lain yang dibebankan Allah kepada malaikat Jibril 'alaihissalam, di antaranya:

Memberi kekuatan kepada orang beriman yang memiliki sifat wala' wal bara' (mecintai orang beriman dan membenci orang kafir) yang kuat, senantiasa membela Allah subhanahu wata'ala dan agamanya demikian pula Rasulullah sallallahu'alaihi wasallam dan sunnahnya. Allah subhanahu wata'ala berfirman:

ﭽ ﭑ  ﭒ  ﭓ  ﭔ  ﭕ  ﭖ  ﭗ    ﭘ  ﭙ   ﭚ  ﭛ  ﭜ  ﭝ  ﭞ  ﭟ  ﭠ  ﭡ   ﭢ  ﭣ  ﭤ  ﭥﭦ  ﭧ  ﭨ  ﭩ  ﭪ   ﭫ  ﭬ  ﭭ  ﭮﭼ المجادلة : ٢٢

"Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau Saudara-saudara ataupun keluarga mereka. meraka Itulah orang-orang yang Telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya." [Al-Mujadilah:22]

Ada beberapa versi penafsiran ulama tentang maksud dari firman Allah {وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ} :

1. Menguatkan mereka dengan Al-Qur'an dalam berhujjah.

2. Menguatkan mereka dengan cahaya keimanan, hidayah dan tanda-tanda kebesaran Allah.

3. Menguatkan mereka dengan bantuan Jibril.

Dalam sahih Bukhari dan Muslim, Hassan bin Tsabir Al-Anshary meminta persaksian dari Abu Hurairah dan berkata: Aku memintamu demi Allah, apakah kamu pernah mendengan Rasulullah mengatakan:

" يا حسان ، أجب عن رسول الله ، اللهم أيده بروح القدس ! "

"Ya Hassan .. belalah Rasul Allah, Ya Allah kuatkanlah ia dengan ruh al-quds (Jibril)?"

Abu Hurairah menjawab: Iya.

Dan dalam sahih Muslim, dari Aisyah; Rasulullah berkata kepada Hassan bin Tsabit:

" إن روح القدس لا يزال يؤيدك ما نافحت عن الله ورسوله "

"Sesungguhnya Ruh Qudus (Jibril) senantiasa menguatkanmu selama engkau membela Allah dan Rasul-Nya".

Tugas lain dari malaikat Jibril adalah menyampaikan cinta dan benci Allah terhadap hamba-Nya kepada para malaikat.

Dalam sahih Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah; Rasulullah bersabda:

" إن الله إذا أحب عبدا دعا جبريل فقال إنى أحب فلانا فأحبه - قال - فيحبه جبريل ثم ينادى فى السماء فيقول إن الله يحب فلانا فأحبوه. فيحبه أهل السماء - قال - ثم يوضع له القبول فى الأرض. وإذا أبغض عبدا دعا جبريل فيقول إنى أبغض فلانا فأبغضه - قال - فيبغضه جبريل ثم ينادى فى أهل السماء إن الله يبغض فلانا فأبغضوه - قال - فيبغضونه ثم توضع له البغضاء فى الأرض " .

"Sesungguhnya Allah jika mencintai seorang hamba, Ia memanggil Jibril dan berkata kepadanya: Sesungguhnya Aku mencintai si Fulan maka cintailah ia. Lalu Jibril ikut mencintainya, kemudian berseru di langit: Sesungguhnya Allah mencintai si Fulan maka cintailah ia. Lalu penduduk langit turut mencintainya, kemudian diturunkan rasa cinta kepadanya di bumi. Dan jika Allah membenci seorang hamba, Ia memanggil Jibril dan berkata kepadanya: Sesungguhnya Aku membenci si Fulan maka bencilah ia. Lalu Jibril ikut membencinya, kemudian berseru di langit: Sesungguhnya Allah membenci si Fulan maka bencilah ia. Lalu penduduk langit turut membencinya, kemudian diturunkan rasa benci kepadanya di bumi."

Wallahu a'lam !

Refrensi:

Al-Iman bil Malaikah hal.72 karya Abdullah Sirajuddin.

Senin, 11 Juni 2012

Terjemah Teks Piagam Madinah

Preambule: Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ini adalah piagam dari Muhammad, Rasulullah SAW, di kalangan mukminin dan muslimin (yang berasal) dari Quraisy dan Yatsrib (Madinah), dan yang mengikuti mereka, menggabungkan diri dan berjuang bersama mereka.

Pasal 1: Sesungguhnya mereka satu umat, lain dari (komunitas) manusia lain.

Pasal 2: Kaum Muhajirin (pendatang) dari Quraisy sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka dan mereka membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.

Pasal 3: Banu ‘Awf, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukminin.

Pasal 4: Banu Sa’idah, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.

Pasal 5: Banu al-Hars, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.

Pasal 6: Banu Jusyam, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.

Pasal 7: Banu al-Najjar, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.

Pasal 8:
Banu ‘Amr Ibn ‘Awf, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.

Pasal 9: Banu al-Nabit, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.

Pasal 10:
Banu al-’Aws, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.

Pasal 11: Sesungguhnya mukminin tidak boleh membiarkan orang yang berat menanggung utang di antara mereka, tetapi membantunya dengan baik dalam pembayaran tebusan atau diat.

Pasal 12: Seorang mukmin tidak dibolehkan membuat persekutuan dengan sekutu mukmin lainnya, tanpa persetujuan dari padanya.

Pasal 13:
Orang-orang mukmin yang takwa harus menentang orang yang di antara mereka mencari atau menuntut sesuatu secara zalim, jahat, melakukan permusuhan atau kerusakan di kalangan mukminin. Kekuatan mereka bersatu dalam menentangnya, sekalipun ia anak dari salah seorang di antara mereka.

Pasal 14: Seorang mukmin tidak boleh membunuh orang beriman lainnya lantaran (membunuh) orang kafir. Tidak boleh pula orang mukmin membantu orang kafir untuk (membunuh) orang beriman.

Pasal 15: Jaminan Allah satu. Jaminan (perlindungan) diberikan oleh mereka yang dekat. Sesungguhnya mukminin itu saling membantu, tidak tergantung pada golongan lain.

Pasal 16: Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita berhak atas pertolongan dan santunan, sepanjang (mukminin) tidak terzalimi dan ditentang (olehnya).

Pasal 17: Perdamaian mukminin adalah satu. Seorang mukmin tidak boleh membuat perdamaian tanpa ikut serta mukmin lainnya di dalam suatu peperangan di jalan Allah Allah, kecuali atas dasar kesamaan dan keadilan di antara mereka.

Pasal 18: Setiap pasukan yang berperang bersama kita harus bahu-membahu satu sama lain.

Pasal 19: Orang-orang mukmin itu membalas pembunuh mukmin lainnya dalam peperangan di jalan Allah. Orang-orang beriman dan bertakwa berada pada petunjuk yang terbaik dan lurus.

Pasal 20: Orang musyrik (Yatsrib) dilarang melindungi harta dan jiwa orang (musyrik) Quraisy, dan tidak boleh bercampur tangan melawan orang beriman.

Pasal 21: Barang siapa yang membunuh orang beriman dan cukup bukti atas perbuatannya, harus dihukum bunuh, kecuali wali si terbunuh rela (menerima diat). Segenap orang beriman harus bersatu dalam menghukumnya.

Pasal 22: Tidak dibenarkan bagi orang mukmin yang mengakui piagam ini, percaya pada Allah dan Hari Akhir, untuk membantu pembunuh dan memberi tempat kediaman kepadanya. Siapa yang memberi bantuan atau menyediakan tempat tinggal bagi pelanggar itu, akan mendapat kutukan dan kemurkaan Allah di hari kiamat, dan tidak diterima daripadanya penyesalan dan tebusan.

Pasal 23: Apabila kamu berselisih tentang sesuatu, penyelesaiannya menurut (ketentuan) Allah ‘azza wa jalla dan (keputusan) Muhammad SAW.

Pasal 24: Kaum Yahudi memikul biaya bersama mukminin selama dalam peperangan.

Pasal 25: Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarganya.

Pasal 26: Kaum Yahudi Banu Najjar diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.

Pasal 27: Kaum Yahudi Banu Hars diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.

Pasal 28: Kaum Yahudi Banu Sa’idah diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.

Pasal 29: Kaum Yahudi Banu Jusyam diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.

Pasal 30: Kaum Yahudi Banu al-’Aws diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.

Pasal 31: Kaum Yahudi Banu Sa’labah diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf, kecuali orang zalim atau khianat. Hukumannya hanya menimpa diri dan keluarganya.

Pasal 32:
Suku Jafnah dari Sa’labah (diperlakukan) sama seperti mereka (Banu Sa’labah).

Pasal 33: Banu Syutaybah (diperlakukan) sama seperti Yahudi Banu ‘Awf. Sesungguhnya kebaikan (kesetiaan) itu lain dari kejahatan (khianat).

Pasal 34: Sekutu-sekutu Sa’labah (diperlakukan) sama seperti mereka (Banu Sa’labah).

Pasal 35: Kerabat Yahudi (di luar kota Madinah) sama seperti mereka (Yahudi).

Pasal 36: Tidak seorang pun dibenarkan (untuk perang), kecuali seizin Muhammad SAW. Ia tidak boleh dihalangi (menuntut pembalasan) luka (yang dibuat orang lain). Siapa berbuat jahat (membunuh), maka balasan kejahatan itu akan menimpa diri dan keluarganya, kecuali ia teraniaya. Sesungguhnya Allah sangat membenarkan (ketentuan) ini.

Pasal 37: Bagi kaum Yahudi ada kewajiban biaya, dan bagi kaum muslimin ada kewajiban biaya. Mereka (Yahudi dan muslimin) bantu-membantu dalam menghadapi musuh Piagam ini. Mereka saling memberi saran dan nasihat. Memenuhi janji lawan dari khianat. Seseorang tidak menanggung hukuman akibat (kesalahan) sekutunya. Pembelaan diberikan kepada pihak yang teraniaya.

Pasal 38: Kaum Yahudi memikul biaya bersama mukminin selama dalam peperangan.

Pasal 39: Sesungguhnya Yatsrib itu tanahnya “haram” (suci) bagi warga Piagam ini.

Pasal 40: Orang yang mendapat jaminan (diperlakukan) seperti diri penjamin, sepanjang tidak bertindak merugikan dan tidak khianat.

Pasal 41: Tidak boleh jaminan diberikan, kecuali seizin ahlinya.

Pasal 42: Bila terjadi suatu peristiwa atau perselisihan di antara pendukung Piagam ini, yang dikhawatirkan menimbulkan bahaya, diserahkan penyelesaiannya menurut (ketentuan) Allah ‘azza wa jalla, dan (keputusan) Muhammad SAW. Sesungguhnya Allah paling memelihara dan memandang baik isi Piagam ini.

Pasal 43: Sungguh tidak ada perlindungan bagi Quraisy (Mekkah) dan juga bagi pendukung mereka.

Pasal 44: Mereka (pendukung Piagam) bahu-membahu dalam menghadapi penyerang kota Yatsrib.

Pasal 45: Apabila mereka (pendukung piagam) diajak berdamai dan mereka (pihak lawan) memenuhi perdamaian serta melaksanakan perdamaian itu, maka perdamaian itu harus dipatuhi. Jika mereka diajak berdamai seperti itu, kaum mukminin wajib memenuhi ajakan dan melaksanakan perdamaian itu, kecuali terhadap orang yang menyerang agama. Setiap orang wajib melaksanakan (kewajiban) masing-masing sesuai tugasnya.

Pasal 46: Kaum yahudi al-’Aws, sekutu dan diri mereka memiliki hak dan kewajiban seperti kelompok lain pendukung Piagam ini, dengan perlakuan yang baik dan penuh dari semua pendukung Piagam ini. Sesungguhnya kebaikan (kesetiaan) itu berbeda dari kejahatan (pengkhianatan). Setiap orang bwertanggungjawab atas perbuatannya. Sesungguhnya Allah paling membenarkan dan memandang baik isi Piagam ini.

Pasal 47: Sesungguhnya Piagam ini tidak membela orang zalim dan khianat. Orang yang keluar (bepergian) aman, dan orang berada di Madinah aman, kecuali orang yang zalim dan khianat. Allah adalah penjamin orang yang berbuat baik dan takwa. Dan Muhammad Rasulullah SAW.

WACANA NEPOTISME DALAM PEMERINTAHAN KHALIFAH UTSMAN BIN AFFAN

Posted by susiyanto

PENDAHULUAN

Utsman bin Affan, salah satu shahabat Nabi Muhammad dan dikenal sebagai khalifah Rasulullah yang ketiga. Pada masa Rasulullah masih hidup, Utsman terpilih sebagi salah satu sekretaris Rasulullah sekaligus masuk dalam Tim penulis wahyu yang turun dan pada masa Kekhalifahannya Al Quran dibukukan secara tertib.[1] Utsman juga merupakan salah satu shahabat yang mendapatkan jaminan Nabi Muhammad sebagai ahlul jannah. Kekerabatan Utsman dengan Muhammad Rasulullah bertemu pada urutan silsilah ‘Abdu Manaf.[2] Rasulullah berasal dari Bani Hasyim sedangkan Utsman dari kalangan Bani Ummayah. Antara Bani Hasyim dan Bani Ummayah sejak jauh sebelum masa kenabian Muhammad, dikenal sebagai dua suku yang saling bermusuhan dan terlibat dalam persaingan sengit dalam setiap aspek kehidupan.[3] Maka tidak heran jika proses masuk Islamnya Utsman bin Affan dianggap merupakan hal yang luar biasa, populis, dan sekaligus heroik. Hal ini mengingat kebanyakan kaum Bani Ummayah, pada masa masuk Islamnya Utsman, bersikap memusuhi Nabi dan agama Islam.

Utsman Bin Affan terpilih menjadi khalifah ketiga berdasarkan suara mayoritas dalam musyawarah tim formatur yang anggotanya dipilih oleh Khalifah Umar Bin Khaththab menjelang wafatnya.[4] Saat menduduki amanah sebagai khalifah beliau berusia sekitar 70 tahun.[5] Pada masa pemerintahan beliau, bangsa Arab berada pada posisi permulaan zaman perubahan. Hal ini ditandai dengan perputaran dan percepatan pertumbuhan ekonomi disebabkan aliran kekayaan negeri-negeri Islam ke tanah Arab seiring dengan semakin meluasnya wilayah yang tersentuh syiar agama. Faktor-faktor ekonomi semakin mudah didapatkan. Sedangkan masyarakat telah mengalami proses transformasi dari kehidupan bersahaja menuju pola hidup masyarakat perkotaan.[6]

Dalam manajemen pemerintahannya Utsman menempatkan beberapa anggota keluarga dekatnya menduduki jabatan publik strategis. Hal ini memicu penilaian ahli sejarah untuk menekankan telah terjadinya proses dan motif nepotisme dalam tindakan Utsman tersebut.[7] Adapun daftar keluarga Utsman dalam pemerintahan yang dimaksud sebagi alasan motif nepotisme tersebut adalah sebagai berikut :

1.      Muawiyah Bin Abu Sufyan yang menjabat sebagi gubernur Syam, Beliau termasuk Shahabat Nabi, keluarga dekat dan satu suku dengan Utsman.[8]

2.      Pimpinan Basyrah, Abu Musa Al Asy’ari, diganti oleh Utsman dengan Abdullah bin Amir, sepupu Utsman.

3.      Pimpinan Kuffah, Sa’ad Bin Abu Waqqash, diganti dengan Walid Bin ‘Uqbah, saudara tiri Utsman. Lantas Walid ternyata kurang mampu menjalankan syariat Islam dengan baik akibat minum-minuman keras, maka diganti oleh Sa’id Bin ‘Ash. Sa’id sendiri merupakan saudara sepupu Utsman.

4.      Pemimpin Mesir, Amr Bin ‘Ash, diganti dengan Abdullah Bin Sa’ad Bin Abu Sarah, yang masih merupakan saudara seangkat ( dalam sumber lain saudara sepersusuan, atau bahkan saudara sepupu) Utsman.

5.      Marwan Bin Hakam, sepupu sekaligus ipar Utsman, diangkat menjadi sekretaris Negara.

6.      Khalifah dituduh sebagai koruptor dan nepotis dalam kasus pemberian dana khumus (seperlima harta dari rampasan perang) kepada Abdullah Bin Sa’ad Bin Abu Sarah, kepada Mirwan bin Al Hakkam, dan kepada Al Harits Bin Al Hakam.

Beberapa penulis Muslim mencoba melakukan rasionalisasi bahwa tindakan Utsman tersebut bukan tanpa alasan. Hal ini merupakan sebuah upaya pembelaan terhadap tindakan Utsman tidak atau bahkan sama sekali jauh dari motif nepotisme. Sebagai contoh salah satu bentk rasionalisasi menyebutkan bahwa Utsman mengangkat wali-wali negeri dari pihak keluarga beralasan untuk memperkuat wilayah kekuasaannya melalui personal yang telah jelas dikenal baik karakteristiknya.[9] Hal ini mengingat wilayah kekhilafahan pada masa Utsman semakin meluas. Demikian juga tanggungjawab dakwah dimasing-masing wilayah tersebut.

PERMASALAHAN

Dalam Manajemen, mengangkat pekerja berdasarkan kekerabatan bukan hal yang salah. Kemungkinan pengenalan karakteristik anggota keluarga jelas lebih baik dibandingkan melalui seleksi dari luar keluarga. Jika hal tersebut menyangkut kinerja dan harapan ketercapaian tujuan dimasa mendatang jelas pemilihan bawahan dari pihak keluarga tidak bertentangan dengan sebuah aturan apa pun. Artinya secara mendasar nepotisme sendiri bukan merupakan sebuah dosa. Namun demikian kata “nepotisme’ dewasa ini telah mengalami perubahan makna substansial menjadi bermuatan negative. Bukan hanya bagi Indonesia, namun bagi sejumlah negara “pendekatan kekeluargaan” tersebut telah menempati urutan teratas bagi kategorisasi “dosa-dosa politis” sebuah rezim kekuasaan.

            Oleh karena itu maka penjelasan bahwa pemilihan anggota keluarga untuk menempati struktur kepemimpinan dalam kasus khalifah Utsman dengan rasionalisasi pengenalan karakteristik, jelas kurang relevan diterapkan pada masa ini, walaupun bukan berarti tidak benar. Maka salah satu jalan yang harus dilakukan guna membedah isu seputar nepotisme ini adalah melalui cross check sejarah terhadap masing-masing anggota keluarga Utsman yang terlibat dalam kekuasaan. Disadari proses ini tidaklah mudah. Maka perlu dibatasi permasalahan kajian ini dengan menfokuskan pembahasan guna menjawab pertanyaan : Mengapa Khalifah Utsman mengangkat beberapa keluarga dekatnya dalam struktur jabatan publik strategis ?

KRONOLOGI PEJABAT NEGARA ‘KELUARGA’ KHALIFAH UTSMAN

Mengetengahkan kembali kronologi seputar pemerintahan Utsman Bin Affan, bukanlah pekerjaan yang mudah dilakukan. Terutama apabila dikaitkan dengan ketersediaan data dengan kualitas dan kuantitas yang memadai. Upaya memojokkan pemerintahan Utsman sebagai rezim nepotis sendiri hanya berangkat dari satu sudut pandang dengan argumentasi mengungkap motif social-politik belaka. Lebih dari itu lebih banyak berkutat dalam dugaan dan produk kreatif imajinatif. Sumber data yang tersedia kebanyakan didominasi oleh naskah yang ditulis pada masa dinasti Abbasiyah, yang secara politis telah menjadi rival bagi Muawiyah, keluarga, dan sukunya, tidak terkecuali khalifah Utsman Bin Affan. Oleh karena itu kesulitan pertama yang harus dihadapi adalah menyaring data-data valid diantara rasionalisasi kebencian dan permusuhan yang menyelusup di antara input data yang tersedia.

Dakwah Islam pada masa awal kekhilafahan Utsman Bin Affan menunjukkan kemajuan dan perkembangan signifikan melanjutkan estafeta dakwah pada masa khalifah sebelumnya. Wilayah dakwah Islam menjangkau perbatasan Aljazair (Barqah dan Tripoli sampai Tunisia), di sebelah utara meliputi Allepo dan sebagian Asia Kecil. Di timur laut sampai Transoxiana dan seluruh Persia serta Balucistan (Pakistan sekarang), serta Kabul dan Ghazni. Utsman juga berhasil membentuk armada dan angkatan laut yang kuat sehingga berhasil menghalau serangan tentara Byzantium di Laut Tengah. Peristiwa ini merupakan kemenangan pertama tentara Islam dalam pertempuran dilautan.

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa di atas, Utsman mengangkat anggota keluarganya sebagi pejabat public. Di antaranya adalah Muawiyah Bin Abu Sufyan. Sosok Muawiyah dikenal sebagai politisi piawai dan tokoh berpengaruh bagi bangsa Arab[10] yang telah diangkat sebagai kepala daerah (Gubernur) Syam sejak masa khalifah Umar Bin Khaththab. Muawiyyah tercatat menunjukkan prestasi dan keberhasilan dalam berbagi pertempuran menghadapi tentara Byzantium di front utara. Muawiyah adalah sosok negarawan ulung sekaligus pahlawan Islam pilih tanding pada masa khalifah Umar maupun Utsman. Dengan demikian tuduhan nepotisme Utsman jelas tidak bisa masuk melalui celah Muawiyah tersebut. Sebab beliau telah diangkat sebagai gubernur sejak masa Umar. Belum lagi prestasinya bukannya mudah dianggap ringan.

Selanjutnya penggantian Gubernur Basyrah Abu Musa al Asyari dengan Abdullah Bin Amir, sepupu Utsman juga sulit dibuktikan sebagi tindakan nepotisme. Proses pergantian pimpinan tersebut didasarkan atas aspirasi dan kehendak rakyat Basyrah yang menuntut Abu Musa al Asyari meletakkan jabatan. Oleh rakyat Basyrah, Abu Musa dianggap terlalu hemat dalam membelanjakan keuangan Negara bagi kepentingan rakyat dan bersikap mengutamakan orang Quraisy dibandingkan penduduk pribumi. Pasca menurunkan jabatan Abu Musa, khalifah Utsman menyerahkan sepenuhnya urusan pemilihan pimpinan baru kepada rakyat Basyrah. Rakyat Basyrah kemudian memilih pimpinan dari golongan mereka sendiri. Namun pilihan rakyat tersebut justru dianggap gagal menjalankan roda pemerintahan dan dinilai tidak cakap oleh rakyat Basyrah yang memilihnya sendiri. Maka kemudian secara aklamasi rakyat menyerahkan urusan pemerintahan kepada khalifah dan meminta beliau menunjuk pimpinan baru bagi wilayah Basyrah. Maka kemudian khalifah Utsman menunjuk Abdullah Bin Amir sebagai pimpinan Basyrah dan rakyat setempat menerima pimpinan dari khalifah tersebut. Abdullah Bin Amir sendiri telah menunjukkan reputasi cukup baik dalam penaklukan beberapa daerah Persia.[11] Dengan demikian nepotisme kembali belum terbukti melalui  penunjukan Abdullah Bin Amir tersebut.

            Sementara itu di Kuffah, terjadi pemecatan atas Mughirah Bin Syu’bah karena beberapa kasus yang dilakukannya. Pemecatan ini sebenarnya atas perintah khalifah Umar Bin Khaththab namun baru terealisasi pada masa khalifah Utsman. Penggantinya, Sa’ad Bin Abu Waqqash, juga diberhentikan oleh khalifah Utsman akibat penyalah gunaan jabatan dan kurang transparansinya urusan keuangan daerah. Salah satu kasusnya, Sa’ad meminjam uang dari kas propinsi tanpa melaprkannya kepada pemerintah pusat. Pada masa pemerintahan khulafaur Rasyidun, setiap daerah menikmati otonomi penuh, kecuali dalam permasalah keuangan tetap terkait dan berada dibawah koordinasi Bendahara pemerintah Pusat. ‘Amil (pengepul zakat, semacam bendahara) Kuffah saat itu, Abdullah Bin Mas’ud, dipanggil sebagai saksi dalam pengadilan atas peristiwa tersebut. Abdullah Bin Mas’ud sendiri akhirnya juga dipecat akibat peristiwa tersebut. Perlu diketahui, Abdullah Bin mas’ud termasuk keluarga dekat dan sesuku dengan Khalifah Utsman. Pengganti Sa’ad Bin Abu Waqqash adalah Walid Bin Uqbah, saudara sepersusuan atau dalam sumber lain saudara tiri khalifah Utsman. Namun karena Walid memiliki tabiat buruk (suka minum khamr dan berkelakuan kasar), maka khalifah Utsman memecatnya dan menyerahkan pemilihan pimpinan baru kepada kehendak rakyat Kuffah. Sebagaimana kasus di Basyrah, gubernur pilihan rakyat Kuffah tersebut terbukti kurang cakap menjalankan pemerintahan dan hanya bertahan selama beberapa bulan. Atas permintaan rakyat, pemilihan gubernur kembali diserahkan kepada khalifah. Ustman Bin Affan kemudian mengangkat Sa’id Bin ‘Ash, kemenakan Khalid Bin Walid dan saudara sepupu Utsman, sebagai gubernur Kuffah, karena dianggap cakap dan berprestasi dalam penaklukan front utara, Azarbaijan.[12] Namun terjadi konflik antara Sa’id dengan masyarakat setempat sehingga khalifah Utsman berfikir ulang terhadap penempatan sepupunya tersebut. Maka kemudian Sa’ad digantikan kedudukannya oleh Abu Musa Al Asy’ari, mantan gubernur Basyrah. Namun stabilitas Kuffah sukar dikembalikan seperti semula sampai peristiwa tewasnya sang khalifah. Meskipun demikian nepotisme dalam frame makna negative kembali sukar dibuktikan.

            Sedangkan di Mesir, Ustman meminta laporan keuangan daerah kepada Amr Bin Ash selaku gubernur dan Abdullah Bin Sa’ah Bin Abu Sarah selaku ‘Amil. Laporan Amil dinilai timpang sedangkan Amr dianggap telah gagal melakukan pemungutan Pajak. Padahal negara sedang membutuhkan pendanaan bagi pembangunan armada laut guna menghadapi serangan Byzantium. Khalifah Utsman tetap menghendaki Amr Bin Ash menjadi gubernur Mesir sekaligus diberi jabatan baru sebagai panglima perang. Namun Amr menolak perintah khalifah tersebut dengan kata-kata yang kurang berkenan di hati sang khalifah (perkataan kasar). Maka kemudian Amr Bin Ash dipecat dari jabatannya. Sedangkan Abdullah Bin Sa’ah Bin abu sarah diangkat menggantikannya sebagai gubernur. Namun kebijakan gubernur baru tersebut dalam bidang agraria kurang disukai rakyat sehingga menuai protes terhadap khalifah Utsman. Dari peristiwa inilah akhirnya muncul isu nepotisme dalam pemerintahan Utsman. Isu yang beredar dari Mesir ini pada akhirnya menyebabkan khalifah terbunuh.[13]

Salah satu bukti penguat isu nepotisme yang digulirkan adalah diangkatnya Marwan Bin Hakam, sepupu sekaligus ipar Utsman, sebagai sekretaris Negara. Namun tuduhan ini pada dasarnya hanya sekedar luapan gejolak emosional dan alasan yang dicari-cari. Marwan Bin Hakam sendiri adalah tokoh yang memiliki integritas sebagai pejabat Negara disamping dia sendiri adalah ahli tata negara yang cukup disegani, bijaksana, ahli bacaan Al Quran, periwayat hadits, dan diakui kepiawaiannya dalam banyak hal serta berjasa menetapkan alat takaran atau timbangan.[14] Di samping itu Utsman dan Marwan dikenal sebagai sosok yang hidup bersahaja dan jauh dari kemewahan serta tidak memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian pemilihan Marwan Bin Hakam adalah keharusan dan kebutuhan negara yang memang harus terjadi serta bukan semata-mata atas motif nepotisme dalam kerangka makna negative.

Selain itu tuduhan penggelapan uang negara dan nepotisme dalam pemberian dana al khumus yang diperleh dari kemenangan perang di Laut Tengah kepada Abdullah Bin Sa’ad Bin Abu Sarah, saudara sepersusuan Utsman (sumber lain saudara angkat), dapat dibuktikan telah sesuai dengan koridor yang seharusnya dan diindikasikan tidak ditemukan penyelewengan apa pun.  Al Khumus yang dimaksud berasal dari rampasan perang di Afrika Utara. Isu yang berkembang terkait al khumus tersebut adalah Khalifah Utsman telah menjualnya kepada Marwan Bin Al Hakkam dengan harga yang tidak layak. Duduk persoalan sebenarnya adalah khalifah Utsman tidak pernah memberikan al kumus kepada Abdullah Bin sa’ad Bin Abu Sarah. Sebagaimana telah diketahui ghanimah (rampasan perang) dalam Islam 4/5-nya akan menjadi bagian dari tentara perang sedangkan 1/5-nya atau yang dikenal sebagi al-khumus akan masuk ke Baitul Mal.[15] Perlu diketahui jumlah ghanimah dari Afrika Utara yang terdiri dari berbagai benda yang terbuat dari emas, perak, serta mata uang senilai dengan 500.000 dinar. Abdullah Bin sa’ad kemudian mengambil alkhumus dari harta tersebut yaitu senilai 100.000 dinar dan langsung dikirimkan kepada khalifah Utsman di ibu kota. Namun masih ada benda ghanimah lain yang berupa peralatan, perkakas, dan hewan ternak yang cukup banyak. Al khumus (20 % dari ghanimah) dari ghanimah yang terakhir tersebut itulah yang kemudian dijual kepada Mirwan Bin Hakkam dengan harga 100.000 dirham. Penjualan ganimah dengan wujud barang dan hewan ternak tersbut dengan mempertimbangkan efektifitas dan efisiensi. Al khumus berupa barang dan ternak tersebut sulit diangkut ke ibu kota yang cukup jauh jaraknya.[16] Belum lagi jika harus mempertimbangkan factor keamanan dan kenyamanan proses pengangkutannya. Kemudian hasil penjualan al kmuus berupa barang dan ternak tersebut juga dikirimkan ke baitul mal di ibu kota. Di sisi lain Abdullah bin Sa’ad bin Abu Sarah mendapatkan sebagian dari pembagian 4/5 hasil rampasan perang sebab dia telah memimpin penakhlukan afrika Utara tersebut. Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa 4/5 (atau 80 %) dari ghanimah adalah hak bagi tentara yang mengikuti perang, termasuk diantaranya adalah Abdullah Bin Sa’ad Bin Abu Sarah. Dengan demikian sebenarnya tidak ada masalah karena telah sesuai dengan koridor aturan yang berlaku.

Kemudian khalifah Utsman juga diisukan telah menyerahkan masing-masing 100.000 dirham dari Baitul Mal kepada Al Harits Bin Al Hakkam dan Marwan Bin Al Hakkam. Desas-desus tersebut pada dasarnya merupakan fitnah belaka. Duduk persoalan sebenarnya adalah khalifah Utsman mengawinkan seorang puteranya dengan puteri Al Harits Bin Al Hakkam dengan menyerahkan 100.000 dirham yang berasal dari harta pribadinya sebagai bantuan. Demikian juga khalifah Utsman telah menikahkan puterinya yang bernama Ummu Ibban dengan putera Marwan Bin al Hakkam disertai bantuan dari harta miliknya sejumlah 100.000 dirham.[17]

Dengan demikian terbukti bahwa Khalifah Utsman Bin Affan tidak melalukan nepotisme dan praktek korupsi selama masa kepemimpinannya. Hal ini sesuai dengan pengakuan khalifah Utsman sendiri dalam salah satu khotbahnya yang menyatakan, “ Mereka menuduhku terlalu mencintai keluargaku. Tetapi kecintaanku tidak membuatku berbuat sewenang-wenang. Bahkan aku mengambil tindakan-tindakan (kepada keluargaku) jikalau perlu. Aku tidak mengambil sedikit pun dari harta yang merupakan hak kaum muslimin. Bahkan pada masa Nabi Muhammad pun aku memberikan sumbangan-sumbangan yang besar, begitu pula pada masa khalifah Abu Bakar dan pada masa khalifah Umar ….”.[18]

Dalam khotbahnya tersebut khalifah Utsman juga menyatakan sebuah bukti kuat tentang kekayaan yang masih dimilikinya guna membantah isu korupsi sebagai berikut, “ Sewaktu aku diangkat menjabat khilafah, aku terpandang seorang yang paling kaya di Arabia, memiliki ribuan domba dan ribuan onta. Dan sekarang ini (setelah 12 tahun menjabat khilafah), manakah kekayaanku itu ? Hanya tinggal ratusan domba dan dua ekor unta yang aku pergunakan untuk kendaraan pada setiap musim haji”.[19]

PENUTUP

Berdasarkan kajian di atas telah diketahui bahwa isu nepotisme dalam pemerintahan Utsman terbukti tidak benar. Sebab masing-masing tindakan Utsman telah memiliki rasionalisasi berdasarkan kebutuhan zaman yang terjadi  serta mewakili kebijakan yang seharusnya diambil. Sementara itu kegagalan pemerintahan Utsman lebih banyak disebabkan factor stamina dan kondisi kesehatan beliau. Pada saat diangkat Utsman telah berusia 70 tahun sehingga kurang leluasa memerintah mengingat kondisi tubuhnya tersebut sehingga pada masa akhir pemerintahannya beberapa hal kurang dapat diatasi secara memuaskan. Namun Utsman adalah sosok pemimpin yang luar biasa terkait dengan jasanya terhadap Islam. Semasa Rasulullah masih menunggui umat, beliau adalah salah satu donator tetap bagi dakwah. Dan pada masa setelahnya beliau tetaplah seorang pejuang muslim yang teguh kepada pendirian dan keislamannya.

            Selain itu secara kuantitas jumlah pejabat negara keluarga Utsman dibandingkan dengan yang bukan familinya jelas bukan mayoritas. Tuduhan nepotisme tersebut setidaknya hanya di dasarkan kepada 6 perkara di atas. Sementara jumlah pejabat publik diluar anggota keluarga tersebut adalah mayoritas. Lantas mengapa kita harus mempercayai isu nepotisme tersebut ?


[1]  Prof. DR. Abubakar Aceh. Sejarah Al Quran. Cetakan Keenam. (Ramadhani, Surakarta, 1989). Hal. 37-39

[2] ‘Abdu Manaf memiliki putra yaitu Hasyim dan Abdu Syams. Dari Hasyim kemudian menurunkan ‘Abdul Muththalib lalu Abdullah dan sampai kepada Nabi Muhammad. Sedangkan Abdu Syams memiliki anak bernama Ummayah lalu Abdullah lantas ‘Affan dan kemudian sampai kepada urutan Utsman. (Lihat Soekama Karya. Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam. (Logos, Jakarta,1996). Hal. 254

[3] M. Abdul Karim. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. (Pustaka Book Publisher, Yogyakarta, 2007). Hal. 89

[4] Dalam sidang Formatur yang dipimpin oleh Abdurrahman Bin ‘Auf, Utsman mengusulkan nama Ali Bin Abu Thalib dalam pencalonan sebagai khalifah ketiga. Sedangkan Ali Bin Abu Thalib bersikeras agar Utsman yang terpilih sebagai khalifah pengganti Umar Bin Khatthab. Karena hal inilah maka kemudian diadakan musyawarah penetuan suara sampai terpilihnya Utsman Bin Affan dengan suara mayoritas. Dengan demikian terbukti jelas bahwa Tokoh Ali maupun Utsman bukanlah tokoh yang ambisius terhadap kekuasaan. Selengkapnya baca Al Hafidz Jalaluddin As Suyuthi. Tarikh al Khulafa. (Dar al Fikr, Beirut, 2001). Hal. 176. Lihat pula Drs. H. A. Hafidz Dasuki, MA. (Pimred).et. all. Ensiklopedi Islam. Jilid I. (PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997). Hal. 25

[5]  A. Latif Osman. Ringkasan Sejarah Islam. Cetakan XXIX. (Penerbit Widjaya, Jakarta, 1992). Hal. 67

[6]  A. Latif Osman. Ibid. Hal. 67

[7] Di antara buku yang menyebutkan indikasi terjadinya nepotisme dalam pemerintahan Khalifah Utsman bisa dilihat pada Abu A’la Al Maududi. Khilafah dan Kerajaan. Terj. Al Baqir. (Mizan, Bandung, 1984). Hal. 120-130. Juga Philip K. Hitti. History of The Arabs. (The MacMillan Press, London, 1974). Hal. 44

[8] Keterikatan silsilah antara Utsman dan Muawiyah bertemu pada garis silsilah Ummayah. Ustman adalah putra Affan putra Abdullah Putra Ummayyah. Sedangkan Muawiyah adalah putra Abu Sufyan putra Harb putra Ummayyah. Lihat Soekama Karya. Opcit. Hal. 254

[9]  A. Latif Osman. Opcit. Hal.67

[10] Drs. H. A. Hafidz Dasuki, MA (Pimred).et.all. Ensiklopedi Islam. Jilid III. Cetakan IV. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997). Hal. 247

[11] William Muir. The Caliphate : Its Rise, Decline, and Fall. (The R.T. Society, Esinbargh, 1892). Hal. 216-217

[12] Nourouzzaman Shiddiqi. Menguak Sejarah Muslim. (PLP2M, Yogyakarta, 1984). Hal. 80

[13] Termasuk didalamnya tentang isu surat rahasia khalifah yang sebenarnya adalah buatan Marwan Bin Hakam yang memicu huru-hara. Lihat Drs. H. A. Hafidz Dasuki, MA. (Pimred) et all. Ensiklopedi Islam. Jilid V. Cetakan IV. (PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997). Hal. 143

[14]  Drs. H. A. Hafidz Dasuki, MA (Pimred). et. all. Ensiklopedi Islam. Jilid III. Cetakan IV. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997). Hal. 169

[15] DR. Musthafa Dieb Al Bigha. Fiqih Islam. Terjemah : Ahmad Sunarto dari At Tadzhib Fil Adillati Matnil Ghayyah wa Taqrib. (Insan Amanah, Surabaya, 2004). Hal. 444-450. Juga H. Sulaiman Rasjid. Fiqih Islam. Cetakan XXIII. (Sinar Baru, Bandung, 1990). Hal. 426-427

[16]  Joesoef Sou’yb. Sejarah Daulat Khulafaur-Rasyidin. (Bulan Bintang, Jakarta, 1979). Hal. 438-439

[17] Joesoef Sou’yb. Ibid. Hal. 438-439

[18] Joesoef Sou’yb. Ibid. Hal. 437

[19] Joesoef Sou’yb. Ibid. Hal. 438