Jumat, 15 Januari 2010

PRINSIP-PRINSIP MEMAHAMI HADITS

1. Hadits sederajat dengan Al Qur’an
Hadits adalah wahyu sebagaimana Al Qur’an, karena itu mempunyai kekuatan hukum seperti Al Qur’an.
وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمَا أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُمْ بِهِ
“Dan ingatlah ni`mat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan Al Hikmah (As Sunnah).” (QS. Al Baqarah (2): 231)
وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا
“Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.” (QS. An Nisaa’ (4): 54)
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
“Barangsiapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah.” (QS. An Nisaa’ (4): 80)
2. Hadits harus bersanad
Setiap hadits harus memiliki sanad untuk menguji kebenarannya berasal dari Nabi saw. atau hanya rekayasa manusia.
إِنْ هُوَ إِلاَّ رَجُلٌ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا وَمَا نَحْنُ لَهُ بِمُؤْمِنِينَ
“Ia tidak lain hanyalah seorang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah, dan kami sekali-kali tidak akan beriman kepadanya". (QS. Al Mukminun (23): 38)
Para ulama dahulu sudah memakai sanad sebagai metode menyaring hadits yang shahih dari Nabi saw. Dan yang direkayasa manusia. Dalam Muqadimah kitab Shahih Muslim, seorang ulama’ Hadits ‘Abdullah bin Mubarak berkata:
اْلإِسْنَادُ مِنَ الدِّينِ وَلَوْلاَ اْلإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ
Sanad itu bagian (pemeliharaan kebenaran) agama. Kalau tidak ada sanad orang akan berkata (atas nama Nabi saw.) apa saja yang ingin ia katakan.
3. Hadits menjelaskan ayat Al Qur’an.
a. Menjelaskan yang hal yang masih umum, yang tanpa penjelasan hadist tidak dapat dikerjakan, misalnya: perintah shalat, haji dan zakat.
وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku`lah beserta orang-orang yang ruku.” (Al Baqarah: 43)
b. Menjelaskan pengertian kata yang masih belum jelas, contoh: kata ‘shalawat’
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al Ahzab (33): 56)
c. Menambahkan hukum yang belum termuat dalam Al Qur’an, contoh: hukuman cambuk bagi peminum khamr, berzina muhshan dirajam.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَلَدَ فِي الْخَمْرِ بِالْجَرِيدِ وَالنِّعَالِ ثُمَّ جَلَدَ أَبُو بَكْرٍ أَرْبَعِينَ …
Dari Anas bin Malik, sungguh Nabi saw. mendera peminum khamr dengan selendang dan sandal. Kemudian Abu Bakar (mendera) empat puluh kali… (HR. Muslim:3219)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ قَالَ أَتَى رَجُلٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ فَنَادَاهُ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي زَنَيْتُ , فَأَعْرَضَ عَنْهُ فَتَنَحَّى تِلْقَاءَ وَجْهِهِ فَقَالَ لَهُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي زَنَيْتُ ، فَأَعْرَضَ عَنْهُ حَتَّى ثَنَى ذَلِكَ عَلَيْهِ أَرْبَعَ مَرَّاتٍ , فَلَمَّا شَهِدَ عَلَى نَفْسِهِ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ دَعَاهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: أَبِكَ جُنُونٌ؟ قَالَ: لاَ , قَالَ: فَهَلْ أَحْصَنْتَ , قَالَ: نَعَمْ , فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِذْهَبُوا بِهِ فَارْجُمُوهُ
Dari Abu Hurairah, sungguh ia pernah berkata: “Seorang laki-laki muslim datang kepada Rasulullah saw. ketika beliau berada di Masjid. Lalu ia memanggil beliau dan berkata: ‘Ya Rasulullah, sungguh aku telah berzina.’ Lalu beliau memalingkan wajahnya dari orang itu. Lalu ia berkata lagi: ‘Ya Rasulullah, sungguh aku telah berzina.’ Lalu beliau memalingkan muka darinya. Tetapi orang ini mengulanginya sampai empat kali. Setelah ia bersaksi untuk dirinya sebanyak empat kali, Rasulullah memanggilnya, lalu bertanya: ‘Apakah engkau gila?’ Jawabnya: ‘Tidak.’ Beliau bertanya lagi: ‘Apakah kamu sudah beristri?’ Jawabnya: ‘Ya.’ Maka Rasulullah saw. bersabda kepada para sahabatnya: ‘Bawalah ia, lalu rajamlah ia.’” (HR. Muslim: 3202)
4. Hadits ada yang shahih, lemah dan palsu
a. Hadits Shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir, diceritakan oleh rawi-rawi yang dipercaya dan tidak tercela.
b. Hadits Lemah adalah hadits yang terputus sanadnya atau di antara rawi-rawinya ada yang tercela.
c. Hadits Palsu adalah hadits yang diada-adakan orang atas nama Nabi saw. baik dengan sengaja atau tidak.
5. Hadits shahih tidak ada yang bertentangan dengan Al Qur’an.
Contoh hadits shahih yang dilemahkan karena bertentangan dengan Al Qur’an, antara lain:
Menggantikan orang lain untuk beribadah haji dan puasa.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً اقْضُوا اللَّهَ فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ
Dari Ibnu ‘Abbas, pernah ada seorang perempuan dari (qabilah) Juhainah datang kepada Rasulullah saw., lalu bertanya: ‘Sungguh ibuku telah bernadzar haji, tetapi ia tidak sempat melaksanakannya hingga ia meninggal dunia, bolehkah aku menghajikannya?’ Beliau menjawab: ‘Ya hajikanlah dia. Bagaimana pendapatmu, jika ibumu mempunyai hutang, bukankah engkau yang membayarnya? Karena itu penuhilah hak Allah, karena Allah lebih berhak dipenuhi hak-Nya.” (HR. Bukhari:1720)
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
Dari ‘Aisyah ra., sungguh Rasulullah saw. pernah bersabda: “Barang siapa yang mati sedangkan ia meninggalan kewajiban berpuasa, (maka puasa yang ketinggalan itu) boleh dipuasakan (dibayar) oleh walinya.” (HR. Bukhari:1816)
6. Mengingkari kebenaran Hadits yang shahih dari Nabi saw. sama dengan mengingkari Al Qur’an.
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS. An Nisaa’ (4): 65)
7. Hadits menjadi sumber Islam yang kedua setelah Al Qur’an
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul(Nya), dan pemimipin di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (As Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. (QS. An Nisaa’ (4): 59)
8. Hadits tentang sabda Nabi saw. tidak ada yang bertentangan dengan perbuatan Nabi saw.
أَمْ يَقُولُونَ بِهِ جِنَّةٌ بَلْ جَاءَهُمْ بِالْحَقِّ وَأَكْثَرُهُمْ لِلْحَقِّ كَارِهُونَ
Atau (apakah patut) mereka berkata: "Padanya (Muhammad) ada penyakit gila." Sebenarnya dia telah membawa kebenaran kepada mereka, dan kebanyakan mereka benci kepada kebenaran. (QS. Al Mukminun (23): 70)
وَمَا صَاحِبُكُمْ بِمَجْنُونٍ

Dan temanmu (Muhammad) itu sekali-kali bukanlah orang yang gila. (QS. At Takwir (81): 22)
9. Perbuatan/perkataan sahabat yang dibenarkan Nabi saw. termasuk Hadits Nabi saw.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيَأْتِيَنَّ عَلَى أُمَّتِي مَا أَتَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ حَذْوَ النَّعْلِ بِالنَّعْلِ حَتَّى إِنْ كَانَ مِنْهُمْ مَنْ أَتَى أُمَّهُ عَلاَنِيَةً لَكَانَ فِي أُمَّتِي مَنْ يَصْنَعُ ذَلِكَ وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata: “Rasulullah saw. pernah bersabda: ‘Sunnguh akan datang juga kepada umatku, sesuatu yang pernah datang kepada Bani Israil seperti (kerusakan yang menimpa) sandal (mereka) juga akan (menimpa) sandal (umattku), sampai (kerusakan yang besar, yaitu) di antara mereka ada yang menzinai ibunya dengan terang-terangan. Dan sungguh Bani Israil telah pecah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya masuk neraka kecuali satu golongan.’ Para sahabat bertanya: ‘Siapakah golongan itu wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab: ‘(Yaitu) golongan yang mengikuti aku dan para sahabatku.’” (HR. Tirmidzi:2565)
10. Hadits lemah dapat digunakan sebagai hujah dengan syarat-syarat tertentu.
Pendapat para imam tentang penggunaan hadits lemah:
Imam Bukhari dan Muslim: Hadits lemah tidak boleh dipakai dalam hal apapun.
Imam Ahmad: Hadits lemah boleh dipakai dengan syarat tidak berat lemahnya, seperti rawinya tidak tertuduh dusta atau terang-terangan berdusta.
Ibnu Taimiyah: Hadits lemah boleh dipakai karena hadits lemah lebih baik dari pendapat manusia.
Imam Suyuti dan Abu Dawud: Hadits lemah boleh dipakai selama di dalam masalah tertentu tidak ada hadits shahih, hasan atau fatwa sahabat.
a. Aqidah: Hadits lemah mutlaq tidak boleh dipakai sebagai hujjah, karena urusan aqidah tidak boleh didasarkan pada dugaan (zhanni).
b. Akhlak: hadits lemah boleh digunakan selama sesuai dengan akhlakul karimah
c. Ibadah: hadits lemah boleh digunakan untuk menjelasan batasan yang harus ada atau bagian amalan ibadah yang tidak dapat dilaksanakan tanpa hadits tersebut .
d. Mu’amalah: hadits lemah boleh digunakan selama memenuhi asas keadilan.
11. Menyikapi perbedaan-perbedaan dalam menilai keshahihan sebuah hadits.
Bila ada perbedaan penilaian keshahihan hadits, maka kita berpegang kepada hadits yang lebih kuat menurut kaidah penelitian hadits.
وَدَاوُدَ وَسُلَيْمَانَ إِذْ يَحْكُمَانِ فِي الْحَرْثِ إِذْ نَفَشَتْ فِيهِ غَنَمُ الْقَوْمِ وَكُنَّا لِحُكْمِهِمْ شَاهِدِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu.” (QS. Al Anbiyaa’ (21): 78)

12. Dasar-dasar penetapan syarat diterima atau ditolaknya seseorang yang meriwayatkan hadits.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al Hujurat (49): 6)
oleh Ustadz Tholib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar